REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Hukum The Indonesian Institute Muhammad Aulia Y Guzasiah menilai salah satu hal penting dalam revisi terhadap UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni penempatan lembaga antirasuah pada cabang eksekutif. Ia menganggap penempatan tersebut menyalahi ketentuan.
"Adanya poin kesepakatan untuk mendudukkan KPK pada cabang eksekutif, ini secara hukum ketatanegaraan tentunya ngawur," ujar Aulia di Jakarta, Kamis.
Menurut Aulia, terlepas dari putusan MK sebelumnya, dia meyakini kesepakatan DPR menjadikan KPK sebagai bagian dalam cabang eksekutif itu tidak muncul dari kajian akademik yang mendalam.
Sebab entah sudah berapa banyak lembar ilmiah yang dikeluarkan oleh sarjana hukum tata negara bahwa kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) itu merupakan lembaga negara independen yang kedudukannya tidak dapat digolongkan begitu ke dalam trias politika klasik.
Dia pun mempertanyakan alasan DPR mengetuk dan menyetujui secara bulat untuk segera merevisi UU KPK dan menjadikannya RUU inisiatif yang pembahasannya dikebut sebelum menjelang masa jabatan DPR periode 2014-2019 habis pada 30 September mendatang.
Hal ini menimbulkan dugaan dan prasangka adanya permufakatan jahat yang akan dilakukan secara tersistematis.
“Pasalnya di antara segala problematika masyarakat yang ada, seperti darurat penipuan dan penyalahgunaan data pribadi serta kian bertambahnya korban-korban pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, mengapa harus UU KPK yang mendapatkan suara bulat untuk segera dikebut pembahasan serta pengesahannya menjelang akhir September ini," ujar dia.
Kesepakatan atas revisi ini, menurut dia, tidak dapat dilepaskan dari dugaan potensi penyalahgunaan hak angket demi menghambat agenda pemberantasan korupsi.
Dia menganggap presiden sudah tidak lagi memiliki waktu dan alasan untuk terus berpangku tangan melihat pemangkasan serta eksistensi KPK.
“Saya kira, saat ini diam tidak lagi bermakna emas. Presiden sudah harus bertindak dan bersuara, juga sembari segera meninjau kembali nama-nama capim yang segera diserahkan ke DPR. Langkah ini perlu ditempuh dan harus, jika masih menginginkan selamatnya masa depan Indonesia dan agenda pemberantasan korupsi," ujar dia.