Kamis 05 Sep 2019 21:37 WIB

9 Hal dalam Draft RUU KPK yang Bisa Lumpuhkan KPK

KPK tidak lagi jadi lembaga independen, melainkan dijadikan lembaga Pemerintah Pusat

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ratna Puspita
Ketua KPK Agus Rahardjo memberikan keterangan pers terrait RUU KPK di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua KPK Agus Rahardjo memberikan keterangan pers terrait RUU KPK di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan ada sembilan persoalan dalam Rancangan Undang-Undang KPK yang berisiko melumpuhkan Kerja KPK. Persoalan paling utama, yakni independensi KPK terancam.

"KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun karena KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat,” kata Agus di Gedung KPK Jakarta, Kamis (5/9). Sebagai lembaga pemerintahan, pegawai KPK masuk dalam kategori ASN sehingga hal ini akan berisiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.

Baca Juga

Persoalan kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi, di mana penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Ia mengatakan korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup sehingga bukti-bukti dari penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi. 

"Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK,” kata dia.

Agus juga mempermasalahkan batas waktu tiga bulan untuk penyadapan. Berdasarkan pengalaman KPK menangani kasus korupsi, ia mengatakan, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang. 

Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang. "Polemik tentang penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan," tegas Agus.

Persoalan ketiga, pembentukan Dewan Pengawas yang  dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya. Keberadaan dewan pengawas  menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin, seperti: penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan

Persoalan keempat, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan  PPNS.

Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Selama ini, ia menambahkan, proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber. 

Selain itu, ia mengatakan, lembaga-lembaga KPK di negara lain telah menerapkan sumber terbuka penyidik. Penyidik pada lembaga antirasuah di Singapura, Hongkong, dan Malaysia tidak harus dari kepolisian. 

Persoalan kelima, penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, yang berisiko mereduksi independensi KPK. Selain itu, aturan ini akan berdampak pada makin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara.

Persoalan keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat. 

Persoalan ketujuh, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas. Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan sehingga KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK.

Kedelapan, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. Misalnya, pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi dan meminta bantuan Polri dan Interpol 

Terakhir, ia menatakan, lewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara.

Akibatnya, posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi. Padahal, selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement