REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri membantah melakukan kriminalisasi terhadap pengacara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Veronica Koman. Mabes Polri menegaskan, penetapan tersangka terhadap aktivis prokemerdekaan Papua Barat itu lantaran adanya pijakan hukum atas satu dugaan pidana yang dilakukan.
Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, prosedur peningkatan perkara oleh Polda Jawa Timur (Jatim) juga sudah sesuai dengan mekanisme penyidikan. “Definisi kriminalisasi yang disampaikan teman-teman (media dan aktivis) itu nggak benar. Baca dulu definisinya (kriminalisasi),” kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, pada Kamis (5/9).
Dedi menerangkan, kriminalisasi merupakan bentuk paksa upaya pemidanaan terhadap seseorang dari aksi atau perbuatan yang bukan pelanggaran pidana. Dalam kasus Veronica, menurut Dedi, perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan pidana.
“Ya ini (dalam kasus Veronica), kan jelas kriminal (pidana), ada pasal yang dilanggar di situ,” kata Dedi.
Ia menjelaskan, yang dilakukan Veronica adalah menyampaikan penyimpangan informasi dan penyebaran kabar bohong atau hoaks bersifat provokatif lewat media sosial (medsos) yang memicu terjadinya kerusuhan dan sentimen etnis. Ia mencontohkan salah satu cuitan Veronica yang menjadi salah satu alat bukti dalam penetapan tersangka Veronica, yaitu menyangkut tentang insiden asrama Papua di Surabaya, Jumat (16/8).
Menurut Dedi, penyidik menilai Veronica menyebarkan kabar bohong tentang proses evakuasi kepolisian saat insiden asrama Papua. “Contonya, seperti (cuitan) tentang adanya mahasiswa yang meninggal, ada mahasiswa yang luka berat akibat tindakan represif aparat keamanan,” kata Dedi.
Padahal, Dedi menerangkan, dalam insiden waktu itu, kepolisian sudah melakukan evakuasi proporsional yang tak menimbulkan korban jiwa, pun luka-luka. Buktinya, 43 mahasiswa yang berhasil dievakuasi saat insiden tersebut, kata Dedi dipulangkan.
Fakta peristwa tersebut, kata Dedi sengaja disimpangkan menjadi kabar bohong, yang memicu terjadinya gelombang kerusuhan di Papua Bara dan Papua. Itu sebabnya, kata Dedi, penyidik menebalkan sangkaan pidana terhadap Veronica dengan pasal berlapis menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), KUHP, dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
“Kita nanti melihat fakta hukumnya saja, apakah VK (Veronica) ini melakukan perbuatan yang melanggar hukum (atau tidak). Apakah Polri dalam menetapkan tersangka, sudah sesuai (atau tidak),” terang Dedi.
Amnesty Internasional Indonesia sebelumnya, Rabu (4/9) menuding Polri melakukan kriminalisasi terkait penetapan tersangka Veronica. Direktur Amnesty Indonesia, Usman Hamid mengatakan, dasar pikir kepolisian memidanakan Veronica dengan tuduhan menyebarkan kabar bohong dan melakukan provokasi, tak berdasar.
Menurut dia, jika informasi yang disampaikan Veronica tentang insiden asrama Papua Surabaya, tak akurat tak serta merta menyeretnya ke penjara. Usman menilai, sebaliknya Polri semestinya cukup memberikan informasi yang sesuai fakta untuk meluruskan informasi yang dianggap tak akurat tersebut.
“Kriminalisasi terhadap Veronica, akan membuat orang lain takut untuk berbicara atau memakai media sosial untuk mengungkap segala (dugaan) pelanggaran terkait Papua,” ujar Usman.
Menurut Usman, jika informasi Veronica tersebut dianggap konten provokatif yang menjadi pemicu gelombang massa di Papua dan Papua Barat, pun tak tepat.
Karena menurut Usman, gelombang massa yang terjadi di Papua dan Papua Barat bukan karena melihat Twitter Veronica.
Melainkan, bentuk protes warga Bumi Cenderawasih untuk menuntut pemerintah menyelesaikan kasus rasisme di asrama Papua Surabaya yang menjadi pangkal persoalan. Menuduh Veronica menyebarkan kabar bohong dan provokatif, menurut Usman membuktikan salah jalan pemerintah dan aparat hukum, dalam menyelesaikan akar masalah kerusuhan di Papua dan Papua Barat.