REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di akhir masa jabatan 2014 - 2019, DPR RI tiba - tiba memunculkan kembali pembahasan Revisi UU KPK yang sempat menjadi polemik sejak 2017 lalu. Anggota dewan membantah adanya upaya pelemahan lembaga antirasuah itu.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Mahesa mengungkapkan poin revisi di antaranya soal penyadapan, pelaporan harta kekayaan, pengawasan hingga pemberian surat perintah penghentian penyidikan (SP3). "Itu kok dianggap melemahkan kan lucu," ujar politikus Gerindra itu di Kompleks Parlemen RI, Kamis (5/9).
Saat ini, kata Desmond, KPK tak memiliki pengawas kinerja. Sehingga, revisi UU KPK itu akan menegaskan adanya pengawasan pada KPK. DPR akan memperjelas siapa yang ditunjuk dan menunjuk siapa yang memilih dewan pengawas.
"Ini yang nanti akan kita rumuskan saat debat di parlemen maka kami juga fraksi Gerindra minta masukan kepada siapapun tentang yang paling layak menjadi pengawas KPK itu siapa," ujar dia.
Kemudian, revisi juga akan mengatur keharusan dan kapan pejabat negara harus melaporkan harta kekayaannya. Lalu, dalam revisi ini, kewenangan KPK mengeluarkan SP3 untuk kasus yang sudah berjalan selama satu tahun akan diatur. Desmond menekankan, wewenang ini demi kepastian hukum.
"Kalau ada pesan ini melemahkan kan dalam negara hukum harus ada kepastian hukum, kecuali Indonesia UU kita tidak bicara tentang negara hukum, bagi saya tidak ada sesuatu yang luar biasa toh tidak ada orang lain yang intervensi," ujar dia.
KPK
Pembahasan revisi UU tersebut diserahkan di Paripurna pada Kamis (5/9) setelah disetujui oleh seluruh fraksi dalam badan legislasi pada Selasa (3/9). DPR akan mengebut pengesahan revisi UU ini dalam tiga pekan terakhir masa jabatannya.
Pembahasan Revisi UU KPK ini sendiri telah mengalami penolakan masyarakat, dan KPK itu sendiri. Revisi UU KPK sendiri dinilai akan melemahkan kinerja KPK sebagai lembaga antirasuah di Indonesia.