Kamis 05 Sep 2019 08:34 WIB

Pemerintah Terbuka Investasi Asing Ikut Bangun Ibu Kota Baru

Pemerintah tetap mengutamakan investor lokal membangun ibu kota baru.

Rep: Dedy Narwaman Nasution, Novita Intan, Adinda Pryanka, Wilda Fizriyani/ Red: Karta Raharja Ucu
Ilustrasi Ibukota Pindah
Foto: Mgrol101
Ilustrasi Ibukota Pindah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, menegaskan pemerintah akan mengutamakan pendanaan dari dalam negeri. Namun, pemerintah tak menutup diri dari investasi asing dalam proyek pembangunan ibu kota baru.

Bambang menuturkan, prioritas investasi akan ditujukan kepada investor swasta dalam negeri dan BUMN. Investor asing yang ingin masuk diarahkan membentuk perusahaan patungan. "Silakan bekerja sama dengan perusahaan lokal atau BUMN," kata Bambang kepada Republika, Selasa (3/9) malam.

Dalam laporannya, Bappenas menyebutkan biaya pemindahan ibu kota diperkirakan mencapai Rp 485,2 triliun. Sebanyak 19,2 persen atau sekitar Rp 93,5 triliun di antaranya akan dibiayai oleh APBN. Sementara itu, 54,5 persen lainnya (Rp 265,2 triliun) menggunakan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) dan sisanya, 26,2 persen (Rp 127,3 triliun) diharapkan berasal dari swasta.

Bambang menjelaskan, pemerintah terbuka lebar kepada banyak negara untuk menjadi investor pembangunan ibu kota baru. "Kami tidak menyasar negara tertentu," tuturnya.

Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta mengaku tak keberatan jika harus bekerja sama dengan investor asing untuk membangun ibu kota baru. Mereka juga siap membentuk perusahaan patungan jika dimungkinkan.

Perusahaan kontraktor pelat merah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk menyatakan, pihaknya sudah sering melakukan joint venture dengan perusahaan asing dalam proyek infrastruktur. Sekretaris Perusahaan Wika Mahendra Vijaya mengatakan, pembentukan perusahaan patungan bisa saja dilakukan jika pemerintah mengizinkan.

"Wika juga sudah terbiasa membentuk konsorsium dengan perusahaan asing," kata Mahendra kepada Republika, Rabu (4/9). Beberapa contoh kerja sama itu, kata dia, adalah pembangunan moda raya terpadu (MRT) yang menggandeng Jepang, kereta cepat Jakarta-Bandung dengan Cina, serta proyek-proyek pembangkit listrik yang menggandeng Korea.

Dia mengatakan, Wika pun siap berinvestasi sendiri di ibu kota baru tanpa membentuk perusahaan patungan sesuai dengan porsi infrastruktur yang dijatah. Namun, karena porsi pembiayaan non-APBN yang mencapai 81 persen dari total kebutuhan Rp 466 triliun, pembentukan joint venture sangat dimungkinkan.

photo
Peta perpindahan tol di kawasan Kertajati (Ilustrasi). Kota Kertajati menjadi salah satu lokasi yang diusulkan menjadi ibu kota baru pengganti Jakarta.

Menurut dia, skema yang dapat dilakukan dalam menggandeng pihak asing sangat beragam. "Banyak sekali, tergantung kondisinya. Yang jelas, kalau KPBU, kita siap. Tapi, itu masih nanti," kata dia.

Mahendra menambahkan, Wika juga tidak akan membatasi diri dalam infrastruktur ibu kota baru yang akan dibangun. Selama pemerintah mengizinkan, Wika bakal menggarap infrastruktur pendukung maupun inti sesuai kemampuan.

"Kita sudah berpengalaman dalam membentuk perusahaan patungan dengan asing. Semua infrastruktur bisa saja," ujar dia.

Perusahaan konstruksi swasta PT Total Bangun Persada Tbk juga tak akan menutup diri jika diajak bekerja sama oleh perusahaan asing untuk membangun ibu kota baru. Namun, PT Total Bangun Persada sampai saat ini belum memiliki rencana untuk ikut membangun proyek di ibu kota baru.

Sekretaris Perusahaan Total Bangun Persada Mahmilan Sugiyo mengatakan, pihaknya belum pernah diajak bicara oleh pemerintah terkait proyek di ibu kota baru. “Tentu kalau kalau ada kebutuhan bangunan tingkat tinggi dan segala sesuatunya memungkinkan, tentunya tidak menutup kemungkinan untuk ikut berpartisipasi,” kata dia, kemarin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement