Selasa 03 Sep 2019 01:30 WIB

Rasisme, Lukaku, dan Luka Sepak Bola

Sepak bola adalah salah satu cara menyebarkan kesetaraan, gairah, dan inspirasi.

endro yuwanto
endro yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)

Entah apakah Sardegna Arena, markas klub Cagliari, bisa menjadi gambaran bahwa tindakan rasisme hingga kini masih sering menghinggapi Italia. Sudah terlalu sering fan Cagliari melakukan serangan rasial terhadap pemain lawan di Sardegna Arena. Bukannya mereda, tindakan tak terpuji itu kerapkali terulang.

Baca Juga

Baru beberapa hari merumput di Serie A Liga Italia, Romolu Lukaku yang kini berseragam Inter Milan, sudah menjadi korban aksi rasis fan I Rossoblu, julukan Cagliari. Insiden itu terjadi saat striker asal Belgia itu bertindak sebagai algojo penalti pada menit ke-72, akhir pekan lalu. Saat itu, suporter Cagliari yang berada di belakang gawang meneriakkan suara-suara monyet untuk membuyarkan konsentrasi Lukaku.

Dalam video yang beredar luas di media sosial, terlihat Lukaku mendapat makian rasial dari suporter Cagliari. Namun, pemain 26 tahun itu tak terganggu dan tetap bisa mengeksekusi penaltinya dengan baik untuk mengantar Inter menekuk Cagliari 2-1.

Serangan rasial itu lantas dikomentari Lukaku. Pemain yang dibeli Inter dari Manchester United itu membuat pernyataan menohok untuk para rasis.

"Banyak pemain dalam beberapa bulan terakhir menderita serangan rasial. Saya kemarin juga. Sepak bola adalah permainan yang harusnya dinikmati bersama dan kami seharusnya tak menerima apapun bentuk diskriminasi yang akan membuat malu permainan ini," tulis Lukaku di Instagramnya. "Saya harap federasi sepak bola di seluruh dunia bereaksi keras atas segala bentuk diskriminasi."

photo
Romelu Lukaku

Lukaku memang bukan korban pertama ejekan rasis fan Cagliari. Sebelumnya, pada 3 April 2018, hal serupa dialami oleh Moise Kean saat masih membela Juventus. Saat itu Juventus menang 2-0 atas tim tuan rumah. Kean melakukan selebrasi di hadapan suporter tuan rumah usai mencetak gol kedua untuk menggenapkan kemenangan Juve.

Selebrasi Kean itu kemudian dibalas dengan teriakan 'buuu' dan suara-suara yang menirukan monyet oleh suporter I Rossoblu. Hal itu membuat rekan setimnya, Blaise Matuidi, marah dan melayangkan protes kepada wasit agar turun tangan.

Hal serupa juga pernah dialami Matuidi pada 7 Januari 2018 dalam laga lanjutan Serie A antara Juventus melawan Cagliari. Ejekan rasis memang kerap dilakukan oleh fan Cagliari.

"Hari ini saya mengalami rasisme selama pertandingan berlangsung. Orang-orang lemah mencoba mengintimidasi dengan kebencian. Saya bukan pembenci, dan hanya bisa menyesali mereka yang memberi contoh buruk," ujar Matuidi seusai pertandingan kala itu.

Setahun sebelum insiden ejekan rasis menimpa Matuidi, suporter Cagliari juga melakukan hal yang sama kepada gelandang Pescara, Sulley Muntari. Muntari bahkan terpaksa meninggalkan lapangan sebagai bentuk protes karena menjadi sasaran rasisme ketika timnya menelan kekalahan 0-1 dari Cagliari.

Ironisnya, pelaku rasis dalam pertandingan itu tak hanya orang dewasa tapi juga anak-anak. Kenyataan ini jelas semakin mencoreng wajah sepak bola Italia yang begitu sering didera kasus seperti ini. Berbagai kampanye untuk menentang rasisme yang dilakukan oleh Federasi Sepak Bola Italia (FIGC), termasuk dengan cara menggandeng pemerintah, seolah masih jauh panggang dari api.

Lebih jauh lagi, tujuh tahun sebelumnya, hal serupa menimpa Samuel Eto'o saat membela Inter Milan kontra Cagliari pada Serie A musim 2010. Wasit bahkan sempat menghentikan laga selama sekitar tiga menit saat laga baru berjalan tiga menit dan kedudukan imbang 0-0.

Pada laga itu, striker asal Kamerun berhasil mencetak gol tunggal pembawa kemenangan Nerazzurri atas Cagliari. Eto’o kemudian membalas cemoohan rasis itu dengan menirukan gerakan monyet saat merayakan gol yang dicetaknya.

Kasus-kasus rasisme di sepak bola Italia sebenarnya tak hanya dilakukan fan Cagliari. Para fan AC Milan sudah pasti ingat tentang hinaan yang dialamatkan pada dua mantan pemainnya, Kevin Constant dan Kevin-Prince Boateng, beberapa waktu lalu. Sebagai bentuk protes, kedua figur pesepak bola dari Afrika itu pun memilih untuk walk out. Mantan striker tim nasional Italia yang punya darah Ghana, Mario Balotelli, juga jadi salah satu target langganan tifosi di Negeri Pizza untuk dicemooh akibat warna kulit yang berbeda.

Ada dua teori di balik kasus rasisme yang sering terjadi di Italia. Pertama, Italia adalah negara yang provinsial, terdiri dari banyak provinsi yang berakar pada kekuatan lokal.

Guyonan yang berbicara tentang kelemahan orang luar, dianggap lumrah di seantero negeri.

Contohnya ketika pada 2009, PM Italia kala itu, Silvio Berlusconi mengatakan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama berkulit hitam karena terlalu banyak berjemur. Puncaknya adalah ketika menteri pertama Italia yang berkulit hitam, Cecile Kyenge dilempari pisang pada Juli 2013.

Alasan kedua adalah adanya warisan fasisme dari Benito Mussolini yang terpelihara hingga kini. Rasa keamanan seakan terancam dengan datangnya orang dari luar. Bukan itu saja fasisme juga merasa yang paling hebat daripada ras atau golongan lain.

photo
Antonio Conte

Namun tentu saja teori itu masih menjadi sesuatu yang bisa diperdebatkan. Banyak pihak yang terus membela bahwa Italia tidak seperti itu. Tidak semua orang Italia seperti itu. Pelatih Inter Milan Antonio Conte misalnya. Ia menyatakan, para penonton sepak bola di Italia harus diberi pendidikan soal bagaimana menyaksikan sepak bola.

Conte meminta sepak bola Italia terus berbenah. Ia menilai pada pertandingan sepak bola di luar Italia, para penonton memberikan rasa hormat kepada tim dan para pemain. Suporter di luar Italia, kata Conte, lebih fokus mendukung tim sendiri.

Masih maraknya kasus rasisme di Italia, terutama dalam hal ini fan Cagliari, memang membutuhkan penanganan khusus. Diperlukan cara-cara yang lebih preventif dan mungkin radikal guna menekan atau bahkan melenyapkan perbuatan tak terpuji yang satu ini. Sanksi berupa denda uang, laga tanpa penonton, atau larangan bermain, ternyata belum efektif membuat para pelaku sadar dan berhenti melakukannya.

Seperti kata Conte, Italia harus berbenah. Apalagi ketika rasisme itu dilakukan oleh sejumlah orang dan memang bukan bagian dari peradaban Italia, khususnya ketika keindahan dan keramahan itu tumbuh menjadi bagian sebagai seorang Italiano.

Sepak bola pun adalah keindahan. Seyogianya tak dicoreng dengan tindakan kotor melalui mulut dan aksi bernama rasisme. Menikmati sepak bola adalah menerima siapa saja yang bermain bola, bukan untuk mencemooh perbedaan fisik dan asal.

Sepak bola adalah salah satu cara untuk menyebarkan kesetaraan, gairah, dan inspirasi. Kemudian melahirkan keindahan dan kegembiraan. Bukan untuk melukai satu sama lain.

*) Jurnalis Republika Online

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement