Selasa 03 Sep 2019 06:34 WIB

Anies Baswedan, Merajut yang Sobek; Menenun yang Tercerai

Anies melepas beban psikologis bahwa umat Islam hanya sebagai penonton di negeri ini.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meluncurkan strategi ketahanan Jakarta.
Foto: Republika/Adam Maulana Sarja
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meluncurkan strategi ketahanan Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Geisz Chalifah, Produser Jakarta Melayu Festival.

Sudah sekian lama dari masa ke masa, umat Islam selalunya menjadi "tersangka", menjadi tertuduh, selalu dinegasikan dalam kehidupan bernegara. Suasana dipojokkan sedemikian rupa berakhir di masa-masa akhir Presiden Soeharto. Ada kesadaran rezim untuk tak memperlakukan umat Islam sebagai kelompok yang selalunya dicurigai. Dipolitisasi dan menjadi kambing hitam atas semua hal bila menyangkut kekuasaan.

Reformasi terjadi, partai-partai menggeliat, kebebasan berbicara, berkelompok terlindungi. Kompetisi politik berlangsung, umat Islam menyurakan suaranya. Presiden terpilih silih berganti hantaman pada umat islam berhenti. Kehidupan berdemokrasi berada dalam koridor.

Tiba masa pilpres 2014 berlanjut pada pilkada DKI 2017, penangkapan demi penangkapan mulai terjadi kembali. Slogan-slogan untuk memojokkan umat islam kembali bergulir.

Umat dinegosiakan dengan Pancasila dan NKRI. Slogan konyol dari kaum dungu berseliweran. Padahal sejarah mencatat kemerdekaan republik ini oleh para ulama, tetapi begitulah kaum buta sejarah.

Suasana dicurigai, dipojokkan, di-framing dengan sebagai anti-Pancasila, radikal dan anti-NKRI kembali dihembuskan dalam rangka memenangkan rezim yang antikritik. Anies hadir di tengah ingar bingar tak menentunya situasi.

Seorang gubernur yang didukung taipan, oleh aparat, juga pusat kekuasaan. Berkata apa saja berlaku semaunya tanpa filter. Melukai hati banyak orang, namun dijunjung sedemikian rupa. Keterbelahan semakin menajam. Anehnya setiap ketidaksetujuan pada tuan Gubernur pongah diberi stigma anti-kebhinekaan antipluralisme.

Para kaum Liberal Udik tak mengerti apalagi berempati pada mereka yang terkulai oleh perilaku Gubernur Angkuh. Bagi para pendukungnya, orang lain (non-Muslim), boleh mengatakan apa saja. Boleh berlaku apa saja, namun bila ada perlawanan maka siap siap mendapat stigma buruk dari para liberal udik sok pluralis, tetapi berperilaku tiran terhadap semua yang berbeda, terutama pada umat Islam yang terlukai.

Bagi mereka para liberal udik, umat islam harus mengikuti dan menurut tanpa sarat dengan ideologi pluralisme yang mereka definisikan sekehendak mereka sendiri. Anies hadir ditengah situasi demikian, langkahnya terukur, ucapan-ucapannya menenangkan.

Dia hadir ditengah masyarakat yang terbelah.

Anies hadir ke semua lapisan, Hindu, Budha, Khonghucu, Katholik, Protestan, juga Islam. Anies menenun kain yang sobek, merajut yang tercerai, menyembuhkan luka yang menggores.

Dia tak peduli dengan bullyan tak menjawab ribuan cacian dengan kata, dia menjawab dengan perilaku dan karya. Mendatangi semua komunitas keagamaan, membantu renovasi Vihara, berdialog dengan masyarakat hindu, merayakan ulang tahun gereja, semua disapa semua didengar dan semua mendapat kesetaraan.

Akhir-akhir ini umat Islam merasakan tekanan, merasakan ketidakadilan, slogan radikal anti-NKRI, tak Pancasila digaungkan. Anies memprakarsai perayaan tahun baru hijriyah yang tak pernah sekalipun diadakan sebelum-sebelumnya.

Tradisi membawa obor di malam satu muharram, diperagakan dengan indah. Tak ada yang terlukai tak ada yang dinegosiasikan, semua warga boleh ikut merayakan malam tahun baru hijriyah.

Perasaan terdalam dari umat Islam yang selama ini hanya menyaksikan kemegahan malam tahun baru masehi tapi sunyi sepi bila tahun baru muharram, terekspresikan. Umat Islam diberi tempat di beri ruang dengan cara yang baik dan terhormat.

Anies melepas beban psikologis yang tertanam sejak lama bahwa negeri ini menjadikan umat Islam hanya sebagai penonton. Bahkan sebuah wilayah yang baru dibangun, dikenal sebagai pulau reklamasi, menjadi wilayah ekslusif tak boleh dimasuki oleh siapapun seolah menjadi negara dalam negara.

Warga jakarta hanya menonton hanya menyaksikan segala kepongahan itu berlangsung di depan mata. Sebagai Gubernur, sebagai pemilik otoritas dia ubah itu semua. Setiap jengkal tanah di republik ini boleh didatangi oleh siapa pun Warga Negara Indonesia. Beban psikologis umat diangkat, tenun kebangsaan dirajut. Dia hadir memberi suasana kebersamaan dan kesetaraan kesempatan.

Anies Gubernur yang membebaskan, merajut yang tercerai, menyembuhkan yang terluka. Jakarta baru, Jakarta untuk semua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement