REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kantor Staf Presiden (KSP) menyebutkan keputusan kenaikan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih harus menunggu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keputusan final terkait hal ini disebut akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) yang isinya mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV KSP, Ali Mochtar Ngabalin, menyebutkan hingga saat ini pembahasan tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan belum final. Namun, ia meyakinkan, Presiden Jokowi memiliki perhatian lebih tentang isu ini dan segera memberikan keputusan.
"Tapi memang belum. Kan belum selesai. Sebentar ini Presiden balik (dari kunjungan kerja ke Yogyakarta) mungkin malam ini di Bogor atau besok. Masih dibicarakan," kata Ngabalin di Istana Negara, Kamis (29/8).
Menurut Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), defisit BPJS Kesehatan tahun ini diprediksi menyentuh Rp 28,3 triliun. Defisit yang dialami BPJS Kesehatan membuat iuran Kelas 1 diusulkan naik menjadi Rp 160 ribu per jiwa per bulan.
Sementara itu untuk kelas 2, naik menjadi Rp 120 ribu per jiwa per bulan. Sedangkan, kelas 3 diusulkan setara dengan Penerima Bantuan Iuran (PBI), yaitu Rp 42 ribu per jiwa per bulan.
Perpres tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan disetujui Presiden Jokowi diyakini akan memberikan ruang penguatan terhadap BPJS agar tidak defisit lagi. Pemerintah juga mengkaji untuk kembali menyuntikkan dana kepada BPJS Kesehatan.