Kamis 29 Aug 2019 18:30 WIB

Cerita Caleg Terpilih Berjuang Melawan Politik Uang

Tidak perlu politik uang kalau masyarakat memahami calon yang berkualitas.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Pencoblosan di Pemilu 2019 (ilustrasi)
Foto: republika
Pencoblosan di Pemilu 2019 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Caleg DPR RI terpilih dari daerah pemilihan (dapil) Sumatra Barat (Sumbar) I, Athari Gauthi Ardi, menceritakan bagaimana politik uang masih marak dalam kontestasi Pemilu 2019 lalu. Kendati demikian, Athari menyebut masih ada solusi bagi praktik yang terus berulang dalam pemilu dan pilkada itu. 

Athari merupakan caleg yang diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Ia dan dua caleg perempuan lain asal Sumbar berhasil terpilih untuk menduduki kursi DPR RI periode 2019-2024. 

Baca Juga

Dalam kontestasi di dapil I Sumbar, Athari mengaku bersaing dengan dua caleg pejawat yang sudah dikenal masyarakat. Dalam persaingan tersebut, ia menggunakan cara turun langsung menemui konstituen dari daerah satu ke daerah lain. 

"Memang ada yang melakukan 'siram-siram' atau memberikan sejumlah uang untuk mengajak masyarakat memilih. Tetapi, menurut saya, semua caleg punya kesempatan sama, terlebih yang mau turun langsung ke masyarakat. Kita tidak perlu politik uang, masyarakat sudah memahami mana calon yang memiliki kualitas," kata dia dalam diskusi bersama para caleg DPR RI terpilih 2019-2024 di Kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (29/8). 

Athari menjelaskan kampanye turun langsung menyapa konstituen merupakan cara terbaik melawan politik uang. Pada kesempatan ini, ia dapat mengenalkan dirinya lebih dekat kepada warga. 

Apalagi, Athari menjelaskan, selama ini ada anggapan bahwa caleg muda dan caleg perempuan tidak bisa memberikan kontribusi ke masyarakat. "Anak muda, perempuan lagi, bisa apa? Tetapi saya ingin mematahkan anggapan itu. Saya turun langsung ke masyarakat, barangkat pagi, pulang malam. Itu yang bisa dilakukan anak muda seperti saya," kata perempuan 26 tahun ini. 

Selain itu, ia menambahkan, banyak masyarakat yang ternyata jarang bertemu dengan wakil mereka. "Sebelum masa tenang saya tanya kepada masyarakat, apakah sudah pernah bertemu dengan anggota DPR RI (dari dapilnya). Masyarakat menjawab belum pernah. Lalu saya tanya terus ke orang lain, dan ternyata jawabannya sama," ujar Athari.

Ia pun mencari tahu penyebab kondisi tersebut. Berdasarkan informasi yang didapat, ia mengatakan, para caleg biasanya hanya memberikan sejumlah logistik kepada konstituennya.  

Athari mengatakan logistik berupa alat peraga kampanye memang penting sebagai bagian dari mengenalkan diri. Akan tetapi, ia mengatakan, turun ke daerah dan bertemu langsung konstituen menjadi penting untuk melawan politik uang. 

Faktor lain yang juga membantunya mengenalkan diri kepada masyarakat, yakni hubungan keluarga. Athari merupakan putri sulung dari mantan anggota DPR RI selama dua periode, Epyardi Asda.  

Athari juga maju dari dapil yang sama dengan ayahnya, yakni Sumbar I. Menurut Athari, priviledge sebagai anak politisi senior dapat dimanfaatkan untuk mengenal masyarakat di dapilnya. 

Sebelumnya, hasil survei nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait hasil Pemilu Serentak dan Demokrasi di Indonesia menyebut persoalan politik uang masih marak terjadi di masyarakat. Dari hasil survei LIPI, sebanyak 46,7 persen responden menganggap politik uang adalah hal yang wajar dan dapat dimaklumi pada Pemilu 2019.

Menurut Athari, dia sudah melakukan hal tersebut sebelum daftar calon tetap (DCT) ditetapkan pada September 2018 lalu. "Saya ikut saat masa reses anggota DPR. Ikut turun ke bawah. Dari situ, saya belajar memang untuk logistik berupa alat peraga kampanye memang penting, tetapi untuk politik uang, saya kira kita bisa terpilih tanpa melakukannya," kata Athari.  

Pengamat politik Djayadi Hanan mengatakan masih adanya praktik politik uang perlu dijadikan evaluasi pemerintah. Jika dibiarkan maka politik uang akan menjadi budaya yang terus berulang dalam pilkada maupun pemilu.  

"Masalah politik uang itu ada di penegakan hukum. Kalau banyak pemilih yang beranggapan pesta demokrasi itu bagi-bagi rejeki, bisa gawat. Padahal politik uang salah satu komponen untuk menilai integritas pemilu," kata Dyajadi saat memberikan materi dalam rilis survei LIPI, Rabu (28/8). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement