REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud, membenarkan keberadaan lahan Hashim Djojohadikusumo di lokasi ibu kota baru. Tapi, ia menekankan, lahan itu sejatinya memang milik negara.
"Dulu lahan yang dikuasai Amerika, kemudian diambil alih oleh Bapak Hashim yang kebetulan (kakaknya) kemarin calon presiden, tapi mereka berdua anak bangsa," kata Gafur di Yogyakarta, Kamis (29/8).
Ia mengaku sependapat kalau Hashim yang mengambil alih konsesi lahan itu, daripada dikuasai Amerika. Bahkan, Gafur merasa, jika telah lahir saat itu kemungkinan akan melakukan langkah sama dengan Hashim.
Gafur tidak mengetahui secara pasti luas lahan yang dimiliki Hashim tersebut. Namun, ia menekankan, kepemilikannya berdasar grup, bukan perorangan. Jadi tidak tepat jika disebut dikuasai perorangan. "Daripada orang lain, mending anak bangsa," ujar Gafur.
Ia menerangkan, lahan-lahan yang menjadi lokasi ibu kota baru memang banyak memiliki tanaman industri. Karenanya, pemindahan ibu kota ke Penajam Paser Utara dirasa meminimalkan anggaran yang dibutuhkan.
Sebab, lanjut Gafur, investor-investor sekalipun sudah mengetahui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terlebih, yang dipindah bukan ibu kota provinsi, melainkan ibu kota negara.
Gafur meyakini, pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur tidak cuma akan membangun Kaltim, tapi juga Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Halmahera bahkan Papua.
Untuk itu, soal lahan milik Hashim, ia mengingatkan Indonesia sudah memiliki peraturan-peraturan hukum yang berlaku terkait itu. Termasuk, untuk menghargai hak-hak perorangan.
"Kita tunggu kedua belah pihak, Hashim dan pemerintah, tapi saya yakin mereka semua tidak akan, kalau istilah anak sekarang tidak rempong (sulit)," kata Gafur.
Kepala Bagian Pembangunan Setda Kabupaten Penajam Paser Utara, Nicko Herlambang menambahkan, lahan itu memang merupakan milik negara. Sehingga, memang tidak ada perorangan yang menguasai lahan tersebut.
Untuk itu, ia menjelaskan, kalaupun diberikan izin mengolah tentu saja melalui konsesi. Artinya, secara aturan sudah jelas kapanpun negara membutuhkan, pemilik berkewajiban memberikannya. "Tanpa ada hak istimewa untuk mendapat penggantian atau apapun," ujar Nicko.