Selasa 27 Aug 2019 20:03 WIB

Indef: Terlalu Berat Kalau Pindah Ibu Kota Pakai APBN

Pemerintah masih mencari cara untuk memenuhi kebutuhan pemindahan ibu kota.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Teguh Firmansyah
(Dari kiri) Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Kaltim Isran Noor, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, berfoto bersama seusai memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
(Dari kiri) Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Kaltim Isran Noor, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, berfoto bersama seusai memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah saat ini masih mencari cara untuk membiayai pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Ridwan Taufik Rahman mengatakan, membutuhkan banyak macam sumber dana untuk membiayai pemindahan ibu kota.

"Saya kira kalau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat berat dalam tahap awal (pemindahan ibu kota)," kata Ridwan kepada Republika.co.id, Selasa (27/8). 

Baca Juga

Meskipun begitu, Ridwan menjelaskan pemerintah memang sudah menyiapkan beberapa alternatif yang memungkinkan untuk memindahkan ibu kota. Salah satunya selain APBN yakni dengan skema Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha (KPBU). 

Dia mengatakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga memiliki estimasi lebih banyak dengan KPBU untuk membiayai pemindahan ibu kota. "Terutama untuk membantu fungsi utama legislatif, eksekutif, dan yudikatif," ujar Ridwan. 

Sementara biaya dari APBN untuk membuat istana negara, rumah dinas, sarana pendidikan, pengadaan lahan, dan ruang terbuka hijau. Jadi, lanjut Ridwan, untuk yang lain estimasinya menggunakan biya dari kerja sama swasta atau KPBU. 

"Terus sekarang masalahnya yang mana paling tepat, justru ini perlu didiskusikan karena kaitannya dengan kondisi keuangan negara yang sekarang sedang mengalami defisit APBN," ungkap Ridwan. 

Dia menuturkan pada Juli 2019 defisit bengkak sampai Rp 187 triliun. Jadi, kata dia, jika menggunakan APBN terlalu banyak bebannya, kecuali untuk pengadaan lahan meski harus menyelesaikan banyak izin usaha. 

Terlebih, di Kaltim menurut Ridwan banyak lahan pertanian atau sawah yang subur. "Ini juga akan menjadi masalah. Apakah sawah produktif direlokasi jadi bangunan. Jadi akan kehilangan ekonomi dari sektor pertanian," tutur Ridwan. 

Ridwan menuturkan selain APBN harus ada skema lainnya yang harus mendukung. KPBU dengan BUMN atau swasta menurutnya bisa menjadi pilihan agar tidak memberatkan APBN. 

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, pihaknya masih mencari cara untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemindahan ibu kota. Sri Mulyani mengaku masih mempelajari master plan atau rencana induk yang dikembanghkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Bappenas. 

Dari rencana induk tersebut, Sri menambahkan, Kemenkeu baru dapat melihat seberapa besar kebutuhan pembangunan infrastruktur dasar di lokasi ibu kota baru. Kegiatan ini direncanakan dimulai pada tahun depan. "Gimana status asetnya dan layout kebutuhan capital spending," tuturnya ketika ditemui di Gedung DPR/ MPR, Jakarta, Selasa (27/8). 

Di sisi lain, Sri mengatakan, Kemenkeu juga harus memikirkan seluruh aset negara yang berada di ibu kota sekarang, DKI Jakarta. Hal ini akan berpengaruh pada tahapan inventarisasi dan proses pelaksanaan proyek pemindahan ibu kota itu sendiri. Apakah dilakukan secara bertahap atau sekaligus. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement