Selasa 27 Aug 2019 18:14 WIB

DPR Berpeluang Bentuk Pansus RUU Pemindahan Ibu Kota

Pembahasan RUU Pemindahan Ibu Kota melibatkan sejumlah komisi di DPR.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Pemindahan ibu kota
Foto: twitter @jokowi
Pemindahan ibu kota

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan rancangan undang-undang soal pemindahan ibu kota dipastikan akan lintas sektor, dengan tidak hanya terkait dengan pemerintahan. Dengan begitu, pembahasan secara paralel diperlukan dengan melibatkan sejumlah komisi di DPR dan lembaga terkait.

Melihat hal tersebut, Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali menilai perlunya pembentukan panitia khusus (pansus). Itu diperlukan untuk membahas pembentukan payung hukum atau regulasi terkait pemindahan ibu kota.

Baca Juga

"Bappenas akan membahasnya di Komisi XI, kemudian secara pemerintahan di Komisi II dan secara keseluruhannya pasti itu kita akan bicarakan di pansus," ujar Zainudin di Komplek Parlemen RI, Jakarta, Selasa (27/8).

Nantinya, pembahasan regulasi pemindahan ibu kota akan menyangkut beberapa hal, diantaranya perencanaan, teknis pemindahan, dan anggaran. Pemerintah dan DPR juga perlu mempersiapkan revisi undang-undang dan pembentukan regulasi baru terkait rencana tersebut.

"Ini pekerjaan lintas sektor, bukan hanya satu atau dua sektor, tapi lintas sektor yang akan bekerja secara simultan," ujar Zainudin.

Pembentukan Pansus RUU Pemindahan Ibu Kota juga didukung oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR. Banyaknya aspek yang perlu dibahas dalam rencana itu membuat mereka mau tidak mau harus membentuk panitia tersebut.

Selain itu, pembentukan pansus juga merupakan bentuk respons cepat dari DPR terkait pemindahan ibu kota. Karena peran DPR sangat penting, agar rencana tersebut dapat terealisasi dengan baik.

"Kita lihat nanti dulu, tapi tidak tertutup kemungkinan bahwa UU ini akan dibahas di pansus. Karena akan ada banyak aspek dimana bidang tugasnya itu atau bidang yang menjadi materi," ujar anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani, Selasa (27/8).

Ia turut meyoroti perlunya kajian perundang-undangan untuk membuat atau merevisi undang-undang ibu kota yang lama. Hal itu diperlukan agar pemindahan ibu kota tidak melanggar undang-undang dan menyebabkan masalah nantinya.

"Maka undang-undang ini kan juga harus direvisi atau sekalian nanti dibuat undang-undang yang baru, yang mengatur segala sesuatu terkait dengan pemindahan ibu kota negara itu," ujar Arsul.

Berdasarkan hasil kajian Kementerian Dalam Negeri, setidaknya ada lima undang-undang yang harus direvisi dan pembuatan empat undang-undang baru. Kelima undang-undang yang harus direvisi yakni UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Ditambah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Adapun, pembuatan empat undang-undang baru menyangkut tentang nama daerah yang dipilih sebagai ibu kota dan penataan ruang ibu kota negara. Serta, penataan pertanahan di ibu kota negara dan UU tentang Kota.

Arsul pun menyebut RUU tentang Pemindahan Ibu Kota diprediksi akan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode 2019-2024. Meski ada alternatif lain, di mana Jokowi dapat mengeluarkan Perppu terkait rencana tersebut.

"Itu harus dimulai, ya tentu harus dimulai masuk dulu dalam prolegnas. Apa lima tahunan, kemudian masuk dalam prolegnas prioritas tahunan 2020," ujar Arsul.

"Misalnya presiden mengeluarkan Perppu, tapi itu kan nanti bisa kemudian menimbulkan perdebatan politik," lanjutnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Zainudin, bahwa RUU tentang pemindahan ibu kota perlu dimasukkan ke dalam Prolegnas DPR periode selanjutnya. Mengingat, pembahasan payung hukum terkait rencana tersebut tak mungkin dilakukan untuk saat ini.

"Menurut saya pastinya itu akan masuk (prolegnas) pada periode pemerintahan di awal dan DPR di awal. Bukan sekarang," ujar Zainudin.

Dalam pembahasan regulasi pemindahan ibu kota, DPR akan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam rencana tersebut. Pendapat dari lembaga swadaya masyarakat, pakar, dan akademisi juga akan menjadi masukan selama pembahasannya nanti.

"Mekanisme pembahasan suatu UU tentu kita akan juga minta pendapat publik, pendapat pakar dan akademisi. Semua stakeholder akan kita undang," ujar Zainudin.

Di sisi lain, aggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto menyebut, pembangunan infrastruktur di Kalimantan Timur terkait pemindahan ibu kota dinilainya ilegal jika belum ada undang-undangnya. Menurutnya, pernyataan Presiden Joko Widodo terkait rencana tersebut barulah sekedar wacana, karena pemerintah belum mengajukan RUU Pemindahan Ibu Kota.

Selama pemerintah belum mengajukan RUU, anggaran untuk pemindahan ibu kota juga belum dapat digelontorkan. Sehingga, jika presiden sudah melakukan pembangunan, itu akan dinggap sebagai tindakan korupsi.

"Maka kalau dipaksakan, menurut kami itu adalah korupsi negara. Itu adalah penyimpangan anggaran negara yang belum ada payung hukumnya," ujar Yandri.

Demi merealisasikan rencana tersebut, menurut Yandri akan ada banyak undang-undang yang perlu direvisi ataupun diubah. Salah satunya adalah Undang-undang Daerah Khusus Ibu Kota yang disandang oleh Jakarta.

Oleh karena itu, Fraksi PAN menilai bahwa pemindahan ibu kota bukanlah sesuatu yang mendesak. Apalagi, anggaran yang dibutuhkan sangat besar, yang lebih baik digunakan untuk menyejahterakan masyarakat dan memeratakan ekonomi di seluruh wilayah.

"Di tengah utang kita sangat tinggi dan Pak Jokowi hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi hanya 5,3 persen, itu pun belum tentu tercapai, menurut kami dari Fraksi PAN belum saatnya memindahkan ibu kota," ujar Yandri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement