Sabtu 24 Aug 2019 07:19 WIB

Perludem Soroti Jabatan Kosong Imbas Pilkada Serentak 2024

enjabat yang terlalu lama dapat mengganggu dinamika politik lokal dan pelayanan publ

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini usai diskusi Perspektif Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/3).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini usai diskusi Perspektif Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah kepala daerah akan habis masa jabatannya sekitar 2022-2023. Akan tetapi, pemilihan kepala daerah (pilkada) tak bisa langsung dilaksanakan karena akan dilakukan serentak pada pemilihan umum (pemilu) 2024. Akibatnya ada kekosongan jabatan dan akan diisi oleh penjabat kepala daerah seperti gubernur DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, penjabat yang terlalu lama dapat mengganggu dinamika politik lokal dan pelayanan publik.

"Karena otomatis penjabat itu kan banyak keterbatasannya dalam mengeksekusi kebijakan, jadi kalau tidak diantisipasi dengan regulasi yang jelas ini bisa berpengaruh terhadap optimalisasi pelayanan publik di daerah," ujar Titi saat dihubungi Republika, Jumat (23/8).

Sementara dalam teknis kepemiluannya, lanjut dia, pilkada serentak 2024 bisa berdampak pada berkurangnya profesionalisme dan kualitas pilkada itu sendiri. Apalagi jika Pemilu 2024 nanti ditambah dengan pelaksanaan pilkada serentak pada tahun yang sama.

Titi mengatakan, hal itu berimbas pada beban yang lebih tinggi kepada peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan pemilih. Ia menjelaskan, meski pilkada tak diselenggarakan dalam satu hari yang sama tetapi pasti prosesnya akan beririsan dengan proses pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).

"Kalau ditambah lagi dengan beban penyelenggaraan pilkada maka dari sisi kerumitan, kompleksitas, dan beban penyelenggaraan itu pasti akan berat sekali," tutur dia.

Selain itu, lanjut Titi, apabila pilkada dipaksakan diselengarakan pada 2024, kemungkinan timbul kejenuhan dari para pemilih. Sebab, masyarakat dihadapkan pada pelaksanaan pemilihan yang terus menerus dalam kurun waktu singkat.

"Jadi itu bisa menurunkan kualitas atau derajat partisipasi politk warga negara dalam proses demokrasi. Bisa saja mereka kemudian memilih asal-asalan atau yang lebih kita khawatirkan mereka menjadi malas untuk pergi ke TPS," jelas Titi.

Ia menyarankan penyelenggaraan pemilu kembali pada desain sebelumnya yakni pilkada tetap dilaksanakan pada 2022 dan 2023. Kemudian pilkada serentak nasional diselenggarakan pada 2026.

Titi juga mengusulkan untuk mendorong efektivitas agar pilkada serentak diselenggarakan bersamaan dengan pileg DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara pilpres dilaksanakan berbarengan dengan pileg DPR RI dan DPD RI untuk sistem presidensil yang lebih kuat.

"Kami mengusulkan agar kepala derah dipilih bersamaan dengan DPRD, jadi isu lokal itu bisa sinkron di antara eksekutif terpilih dengan legislatif terpilih," ucap Titi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement