Rabu 21 Aug 2019 08:31 WIB

KPK Diminta Tegas Usut Korupsi Korporasi

KPK konfrontasi anggota DPRD Bekasi dan Jawa Barat.

Logo KPK
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Logo KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tegas dalam mengusut kasus suap pengurusan perizinan proyek Meikarta di Cikarang, Bekasi. KPK diminta tidak hanya berhenti pada tersangka perorangan, tetapi juga seluruh entitas korporasi yang terlibat.

"Yang penting entitasnya, korporasinya. KPK bisa menetapkan itu kalau memang cukup bukti. Sebelumnya, KPK juga sudah menetapkan sejumlah korporasi yang melakukan korupsi," kata peneliti Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah, dalam pesan singkatnya, Selasa (20/8).

Menurut dia, penegakan hukum terhadap korporasi merupakan optimalisasi penegakan hukum. Pasalnya, saat ini penegak hukum, seperti polisi dan kejaksaan, belum bisa melakukan hal tersebut. "Bukti-bukti, misalnya, KPK menemukan misal si A menerima uang, uang itu ternyata untuk kebutuhan korporasinya," ujar Wana.

Saat ini KPK telah menjadikan beberapa korporasi sebagai tersangka korupsi, di antaranya PT Palma Satu sebagai tersangka korporasi dalam pengembangan kasus suap yang membelit mantan gubernur Riau Annas Maamun dan PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk (DGIK) terkait perkara korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana TA 2009-2010.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Daeng Muhammad, juga pernah meminta hal serupa kepada KPK. Daeng mengatakan, jika memang sudah ditemukan alat bukti, KPK harus berani langsung menetapkan tersangka. “Maksudnya, kalau personal kena, kenapa korporasi tidak? Siapa pun ini, bukan terkait Lippo saja,” kata Daeng, Senin (5/7).

KPK juga telah mengindikasikan keterlibatan korporasi dalam kasus bisnis Group Lippo tersebut. Tahun lalu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, KPK mendalami kemungkinan keterlibatan korporasi terkait kasus suap izin Meikarta.

Pendalaman dilakukan untuk mengetahui apakah pemberian suap itu merupakan kebijakan korporasi atau oknum. "Nanti dalam proses penyidikan akan kami lihat peran dari korporasi itu. Tidak menutup kemungkinan juga kalau korporasi terlibat," kata dia, Senin, 22 Oktober 2018.

Dalam kasus itu, sembilan orang telah divonis hukuman. Neneng Hassanah Yasin telah divonis enam tahun penjara, mantan kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi Jamaludin divonis 4,5 tahun penjara, mantan kepala PMPTSP Pemkab Bekasi Dewi Tisnawati divonis 4,5 tahun penjara, dan mantan kepala Dinas Damkar Pemkab Bekasi Sahat Maju Banjarnahor divonis 4,5 tahun.

Kemudian, mantan kepala bidang penataan ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi Nurlaili divonis 4,5 tahun, mantan direktur operasional Lippo Group Billy Sindoro divonis 3,5 tahun, Henry Jasmen P Sitohan divonis tiga tahun, Fitradjaja Purnama divonis 1,5 tahun, dan Taryudi divonis 1,5 tahun.

Saat ini KPK telah menetapkan dua tersangka baru, yaitu mantan presiden direktur PT Lippo Cikarang Bartholomeus Toto dan mantan sekretaris daerah (sekda) Provinsi Jawa Barat Iwa Karniwa. Sejumlah pejabat Lippo Cikarang dan Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Jawa Barat telah diperiksa terkait dua tersangka tersebut. Pada Rabu (7/8), KPK memeriksa Sekretaris Direksi PT Lippo Cikarang Melda Peni Lestari untuk tersangka Toto.

photo
Anggota DPRD Bekasi Soleman meninggalkan Gedung KPK seusai menjalani pemeriksaan, di Jakarta, Selasa (20/8/2019).

Pengembangan

Selasa kemarin, KPK juga memeriksa anggota DPRD Kabupaten Bekasi Soleman dan anggota DPRD Jawa Barat Waras Wasisto sebagai saksi tersangka Iwa Karniwa. Keduanya berasal dari Fraksi PDI Perjuangan. "Dari fakta-fakta yang ada, kami duga masih ada pihak lain yang menerima aliran dana, ataupun masih ada pihak lain yang diduga berperan dalam konstruksi perkara ini," kata Febri.

Usai diperiksa, Soleman mengaku dikonfrontasi dengan Waras Wasisto. "Hanya dikonfrontasi saja sama Pak Waras tadi," kata Soleman di gedung KPK.

Soleman mengaku tidak pernah mengikuti pembahasan pengurusan rencana detail tata ruang (RDTR) Pemkab Bekasi terkait proyek Meikarta. Pembahasan itu diduga menjadi bancakan yang membuat Iwa ditetapkan sebagai tersangka. "Tidak, tidak pernah. Itu ditanyakan sama kawan-kawan yang bahas RDTR tersebut," kata Soleman.

Ia mengklaim tidak menjadi bagian dari panitia khusus RDTR tersebut. Ia hanya bertugas memperkenalkan Waras dengan Neneng Rahmi Nurlaili yang kini terpidana. "Pansus RDTR bukan saya. Saya cuma memperkenalkan Pak Waras dengan Bu Neneng saja," kata Soleman.

Namun, usai diperiksa, Waras mengaku tidak dikonfrontasi dengan Soleman. "Tidak ada, tidak ada dikonfrontasi apa-apa sama Pak Leman," kata Waras.

Ia juga membantah diperkenalkan dengan Neneng Rahmi oleh Soleman. "Tidak, tidak ada itu," kata Waras. Dalam proses persidangan, Neneng Rahmi sempat menyebut nama Waras Wasisto sebagai orang yang ikut berperan dan menerima uang suap. n Dian Fath Risalahantara ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement