REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkap Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan dibuat untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat dan investasi. Menurut JK, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria sudah tidak relevan dengan kebutuhan pertanahan saat ini.
Hal tersebut disampaikan JK usai rapat pembahasan RUU tentang Pertanahan dengan sejumlah menteri kabinet kerja, Selasa (20/8).
"Beberapa hal tentang kontur tanah yang berbeda pada 60 tahun kemudian pada dewasa ini. Antara lain kebutuhan kita untuk investasi, tetapi tetap untuk melindungi hak-hak masyarakat," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (20/8).
Menurutnya RUU tentang Pertanahan itu akan melindungi hak kepemilikan tanah tanpa mengesampingkan nilai ekonomis yang besar selain untuk kepentingan masyarakat dan investasi.
JK menerangkan, dalam RUU Pertanahan nantinya semua tanah akan terdaftar sah siapa saja pemiliknya dan statusnya.
"Jadi kita melindungi hak milik, hak guna bangunan, HGU, tetap terlindungi. Tapi harus memberikan suatu nilai ekonomi yang besar di samping masyarakat dan keseluruhan. Nah dan suatu kebutuhan bahwa semua tanah di republik ini, harus terdaftar," kata JK.
Meskipun, JK menilai butuh proses untuk menyelesaikan pendataan tanah tersebut. Namun demikian, setelah terdaftar dan digitalisasi maka semua masalah pertanahan akan bisa diselesaikan.
"Mungkin butuh waktu 10 tahun untuk menyelesaikan itu, terdaftar, dengan sistem digital pada waktunya, tanpa itu, kita tak bisa memproyeksi," kata JK.
Rapat hari ini dihadiri oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri ESDM Ignatius Jonan, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, dan jajarannya masing-masing.