Senin 19 Aug 2019 08:21 WIB

Sekali Lagi, Sabar Sikapi Viral Ceramah Abdul Somad

Umat Islam dihimbau untuk sabar dan tenang terkait viral cermah UAS.

Ibunda Ustaz Abdul Somad (kiri).
Foto: Ist
Ibunda Ustaz Abdul Somad (kiri).

Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Viralnya berita soal materi ceramah berserta adanya indikasi pelaporan kepada Ustadz Abdul Somad (UAS) oleh sekelompok orang di Nusa Tenggara Timur terus mendapatkan perhatian. Pagi ini saya terima pernyataan dari Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI). Dia teman saya sejak kuliah Di Yogyakarta.

Ismed menyampaian himbauannya setelah soal isu ini juga mulai disikapi para jamaah haji yang kini sebagia besar masih di tanah suci.

’’Mereka ikut-ikutan marah dan ramai berkomentar atas pelaporan UAS, Makanya saya harus berusaha keras cegah supaya jangan para jamaah haji tenang dan isu ini tak meluas,’’ katanya.

Maka, selang tak berapa lama sebuah pernyataan sagera dikirimkan oleh Ismed melalui SMS. Lengkapnya himbauan dia seperti ini:

Mencermati soal materi ceramah Ustadz Abdul Somad yang saat ini tengah menjadi polemik. Sebaiknya semua pihak bisa menahan diri. Jangan terjebak dalam arus Perang Proxy yang tengah dimainkan dan sangat kontraproduktif bagi kehidupan Kebangsaan Kita.

Jika ada materi ceramah yang dianggap kurang elok. Sebaiknya diselesaikan melalui Silaturahmi dan Diolog Antar Agama yang selama ini sering dilakukan bersama MUI, MAWI, DGI serta yang mewakili Budha dan Hindu. Sejatinya semua pihak harus bisa menjaga kebersamaan dan persaudaraan sebagai bangsa. Jangan mudah diprovokasi, termasuk oleh pihak-pihak yang memang diketahui sebagai Islamophobia.

Khusus kepada Alumni Haji Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, IPHI baik di Pusat maupun di Wilayah seluruh Indonesia, saya minta agar ikut menjaga suasana kondusif. Anggota IPHI harus aktif menjaga rasa persaudaraan dalam kehidupan antar umat beragama dan berbangsa.

Kepada para Jama'a Haji yang saat ini masih berada di Tanah Suci Makkah dan Madinah, mohon do'akan agar Bangsa dan Negara Indonesia tetap kokoh dalam Bingkai NKRI. Tidak mudah terpancing oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang by design sengaja ingin menciptakan kegaduhan.

Dan memang 'suasana panas' seperti saat ini kerap dirasakan. Entah  mengapa segala soal agama Islam menjadi sensitif. Sebelum ini ribut ada soal taruna Akmil Enzo Ali yang ramai-ramai di-bully agar dipecat dengan tuduhan terlibat dalam gerakan Wahabi karena membawa bendera bertuliskan kalimat tauhid ketika naik gunung.

Setelah soal Enzo disikapi pihak TNI melaui Kasad, isu ini menjadi reda. Tapi kemudian ramai. Kemudian muncul polemik soal dana gerakan radikal dari ulama Arab yang bertujuan untuk mengongkosi gerakan kekhalifahan dan radikal. Ramai tuduhan bahwa gerakan ini diberikan kepada pesantren-pesantren. Pihak Muhammadiyah —seperti mantan Ketua Umum Din Syamsuddin dan Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti —  sampai turun tangan agar pihak yang menyebarkan segera menyebut saja siapa mereka dan uang itu ada di mana. Ini agar tidak terjadi fitnah.

Dan tersebut seperti lagu wajib 'Dari Sabang sampai Merauke' alias 'terus sambung menyambung menjadi satu'. Celakanya yang terakhir ini, terjadinya tepat di hari ulang tahun kemerdekaan RI ke 74. Tiba-tiba di Nusa Tenggara Timur (NTT) ada sekelompok orang pergi kekopolisian setempat untuk melaporkan UAS atas ceramahnya yang sebenarnya diucapkan dalam forum pengajian subuh di dalam masjid di Riau sekitar tiga tahun silam.

Pihak kepolisian di NTT setelah dikonfirmasi Republika membenarkan adanya pertemuan dengan warga itu seraya menyatakan belum ada pihak yang melaporkan secara resmi. Harus diakui polisi bertindak bijak dan sangat hati-hati dalam soal ini. Sebab, semua tahu ini kalau salah penanganan menjadi bara yang memantik perpecahan bankan konflik sosial.

Pihak cendikiawan pun ikut ramai ramai berkomentar. Guru besar Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM pun bersikap senada dengan Ismed Hasan Putro. Dia meminta agar umat Islam tenang dan sabar.’’Sadarilah ini perang Proxy. Ini persis suasana yang saya alami di tahun-tahun panas menjelang 1965. Sabar. Sabar,’’ katanya.

‘’Kalau soal ajaran Islam dari dahulu memang sering disalah pahami. Dan kewajiban ulama di depan jamaahnya ya harus menyampaikan apa yang diketahuinya sesuai ajarannya. Jadi apa yang dikatakan UAS adalah menyampaikan ketentuan ajarannya agamanya. Sama juga dengan pengkhutbah di agama lain. Mereka bebas mengatakan apa yang diajarkan agamanya,’’ kata Abdul Hadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement