Ahad 18 Aug 2019 10:17 WIB

Merayakan Hari Kemerdekaan di Gunung Papandayan

Bau belerang cukup menyengat saat berjalan mendaki Gunung Papandayan.

Suasana HUT ke-74 Republik Indonesia di TWA Gunung Papandayan, Sabtu (17/8).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Suasana HUT ke-74 Republik Indonesia di TWA Gunung Papandayan, Sabtu (17/8).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Adji P

Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia selalu identik dengan upacara bendera dan perlombaan. Namun, perayaan hari kemerdekaan juga bisa dilakukan dengan cara tak biasa. Di puncak gunung, misalnya. Republika mencoba merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-74 Republik Indonesia kali ini dengan mendaki Gunung Papandayan yang terletak di Kabupaten Garut.

Perjalanan dimulai dari pos pertama Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Papandayan pada sekitar pukul 12.00 WIB tepat pada 17 Agustus 2019. Setelah mengecek perbekalan berupa dua buah botol air mineral, perjalanan mendaki Gunung Papandayan pun dimulai.

Dalam pendakian itu, Republika memang tak menyiapkan perbekalan yang cukup. Memang niat melakukan pendakian hanya untuk merasakan sensasi perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia di atas gunung, bukan untuk mendirikan tenda dan menginap.

Perjalanan mendaki sejak langkah pertama dimulai dengan kontur jalan yang menanjak. Suara jantung berdetak kencang. Napas juga langsung tersenggal. Namun perjalanan harus terus dilanjutkan untuk melakukan pendakian.

Sekitar 20 menit perjalanan, pos kawah Gunung Papandayan mulai terlihat. Di lokasi itu, medan terlihat lebih terbuka, dengan pemandangan kawah yang mengeluarkan asap belerang. Kontur jalan pun masih banyak yang berupa bebatuan vulkanis.

Untuk melewati jalur kawah Papandayan, ada cobaan lain yang harus dirasakan selain debar jantung yang kencang dan dapas yang tersenggal. Cobaan itu tak lain adalah bau belerang yang cukup menyengat. Meski tak terlalu berbahaya, asap itu cukup mengganggu dan baunya sesekali membuat isi perut ingin keluar.

Untuk melewati jalur kawah, waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar 40 menit. Itu pun dengan barang bawaan ringan. Jika membawa barang-barang untuk berkemah, waktu tempuh otomatis semakin lama. Apalagi jika pendaki jarang olahraga.

Setelah dihadapi bau belerang yang menyengat, tiba juga di sebuah persimpangan. Jalan ke kanan menunjukkan arah Pondok Saladah, sementara arah kiri menunjukkan jalur menuju Hutan Mati dan berujung di Pondok Saladah. Republika mengambil jalur kiri, memang tujuan akhir perjalanan itu hanya sampai hutan mati.

Setelah 10 menit berjalan dari persimpangan itu, pohon-pohon yang telah mati akhirnya terlihat juga. Beberapa pendaki terlihat ada yang berswafoto mengabadikan momen, sementara sisanya ada juga beristirahat di bawah teduhnya pohon yang masih mencoba untuk bertahan hidup.

Bendera merah putih juga terlihat berkibar di Hutan Mati. Sejak perjalanan dimulai, terlihat banyak pendaki dan wisatawan yang hilir mudik. Ada yang baru melakukan pendakian, ada juga yang sudah turun. Beberapa di antara mereka yang berpapasan ada yang terlihat membawa bendera merah putih.

Bendera merah putih yang berkibar di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu dibawa oleh kelompok pendaki asal Jakarta. Mereka memang sengaja membawa bendera merah putih saat mendaki kali ini, sekaligus memeringati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Ketua kelompok pendaki kecil itu, Anggar Nur (23 tahun) mengatakan, mereka sengaja mendaki Gunung Papandayan untuk mengisi hari libur. Lantaran momennya bertepatan dengan 17 Agustus, sekalian saja bendera dibawanya untuk menunjukkan nasionalisme.

"Karema libur saja mendaki, tapi sekalian 17-an bawa bendera merah putih. Kalau di Jakarta upacara di kampus, sekarang di gunung," kata lelaki yang kuliah sambil bekerja di Jakarta itu.

Kelompok kecil itu berisikan lima orang. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Di antara mereka, belum ada satu pun yang pernah mendaki Gunung Papandayan sebelumnya. Karena itu, mereka juga sekaligus ingin menuntaskan rasa penasaran menikmati pemandangan indah Papandayan yang tersebar luas di dunia maya.

Salah seorang pendaki lainnya, Gris (26) mengatakan, mereka berlima memang sedang mendaki gunung. Memilih mendaki Gunung Papandayan bersebab hari libur yang sedikit dan pendakian Papandayan yang relatif lebih mudah.

"Soalnya kita semua kerja juga. Jadi milih yang bisa kejangkau dan belum pernah juga. Kalau punya libur banyak maunya sih yang jauh sekalian," kata dia.

Kelompok itu memang sedang istirahat sejenak di Hutan Mati. Setelah tenaga mereka pulih, perjalanan pun dilanjutkan menuju Pondok Saladah, lokasi berkemah para pendaki Gunung Papandayan.

Salah seorang pendaki lainnya, Erwin (40) justru datang bersama istri dan anaknya yang masih duduk di kelas 1 sekolah dasar. Keluarga asal Kota Tasikmalaya itu memang sengaja mengisi hari libur Kemerdekaan Indonesia dengan mendaki Gunung Papandayan.

Ia menjelaskan, pendakian itu sudah lama direncanakan, sekaligus unntuk mengenalkan anaknya dengan alam. Lokasi gunung yang dekat dari rumahnya dan proses mendakinya yang relatif mudah, membuat Erwin memilih Papandayan untuk liburan keluarga.

"Isi waktu dengan keluarga. Momen perayaan hari kemerdekaan ya diambil liburnya saja," kata dia.

Erwin bersama keluarganya tak sampai berkemah di gunung yang memiliku ketinggian 2.665 mdpl itu. Mereka hanya mendaki hingga Pondok Saladah, mengitari Hutan Mati, dan kembali turun ke bawah.

Sementara Dewi (28), pendaki lainnya yang merayakan hari kemerdekaan di Gunung Papandayan, mengaku sengaja datang bersama teman-teman untuk menikmati alam di hari kemerdekaan Indonesia. Ia mengatakan, hari itu merupakan kali ketiga dirinya mendaki Gunung Papandayan. Namun, baru kali ini ia merayakan kemerdekaan di atas gunung.

Selain bisa berkemah dan menikmati alam, momen kemerdekaan di atas gunung juga diisi Dewi dengan teman-temannya untuk mengikuti lomba memungut sampah yang diadakan pengelola TWA Gunung Papandayan.

"Lombanya kreatif, jadi sekalian bersih-bersih. Biar pengunjung lebih sadar kebersihan," kata dia.

Direktur PT Asri Indah Lestari (AIL), sebagai pengelola TWA Gunung Papandayan, Tri Persada mengatakan, pihaknya memang merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia dengan menggelar perlombaan. Selain perlombaan, pihaknya juga menggelar acara budaya.

Perayaan hari kemerdekaan di Gunung Papandayan memang dimulai sejak Sabtu (17/8). Kegiatan diisi dengan upacara bendera, perlombaan tradisional, dan perlombaan memungut sampah. Sementara para Ahad (18/8), kegiatan dilanjutkan dengan pagelaran pencak silat, pembagian hadiah, dan panggung hiburan berupa organ tunggal. Namun, hiburan itu dilakukan di area pos pertama Gunung Papandayan. Seluruh kegiatan yang dilakukan, kata dia, melibatkan seluruh pengunjung dan masyarakat sekitar.

"Kita memang sudah siapkan acaranya sejak lama," kata dia.

Ia menambahkan, pada akhir pekan yang bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, tingkat kunjungan ke TWA Gunung Papandayan mengalami peningkatan sekitar 10 persen. Menurut dia, banyak pengunjung yang datang tertarik dengan kegiatan, yang setiap tahun dilakukan di Gunung Papandayan.

Ia berharap, agenda tahunan merayakan kemerdekaan Indonesia di alam Gunung Papandayan dapat dimaknai sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang telah memberikan alam yang indah untuk Indonesia. "Kita sudah diberikan alam yang begitu luar biasa, tentunya kita harus bisa merdeka dengan alam yang kita miliki," kata dia.

Perjalanan Republika menikmati alam dan perayaan kemerdekaan di Gunung Papandayan hanya berakhir sampai Hutan Mati. Sekitar 30 menit berada di tempat itu, Republika kembali ke bawah, mencari momen perayaan kemerdekaan yang menarik lainnya di Kabupaten Garut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement