Jumat 16 Aug 2019 07:57 WIB

Tentang Pramoedya, Isti, Khalifah, Komunis, dan Kebanalan

Sekarang novel Pram difilmkan, dahulu membawa dan membaca novelnya dihukum.

Novel Bumi Manusia
Foto: Indonesiagoesfrankfurt.net
Novel Bumi Manusia

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Idola saya, Abangda Isti Nugroho dahulu dihukum karena bikin diskusi mengenai buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Dia masuk penjara Wirogunan dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme dengan memakai dasar melanggar TAP MPR XXV tentang pelarangan ajaran komunis/marxis.

Eh sekarang novel Pram difilmkan padahal TAP MPR itu belum dihapus. Jadi apa ini artinya? Apa konsistennya atas rasa keadilan hukum? Apakah hukum sejatinya alat politik? Maka begitulah berbagai pikiran yang mengelayuti isi kepala.

Saya paham bila bang Isti ngenes, meski dia sadar sepenuhnya apa yang dahulu dia lakukan sebagai konsekuensi dari sikap dirinya yang menjunjung tinggi kebebasan manusia. Sebuah sikap yang sebangun dengan nilai pokok kisah 'Bumi Manusia' yang ditulis Pram dan kini dibuat film itu.

Sebagai sikap terhadap soal ini, saya tidak akan menonton film itu. Tapi saya akan tetap baca semua novel Pram. Ini sikap hormat tegak lurus kepada perjuangan senior: Isti Nugroho. Sekarang Pram disanjung-sanjung. Padahal dahulu ketika Pram ketika masih hidup, dia cenderung kesepian, jarang sekali dikunjungi orang. Setiap sore dia merenung sembari 'kerja badan' menyapu halaman.

Kami dan bos 'Bentang Penerbit' Budhanul Khuri beberapa kali menemui Pram di rumahnya. Tujuannya untuk meminta izin penerbitan karyanya. Kala itu jarang sekali ada orang yang berani bertemu dengan Pram. Nah, usai bertemu dengan Pram bersama Buldan itu kami sudah percaya bila Pram nasibnya kayak pelukis legendaris dunia dari Belanda Van Goh. Kala hidup tak ada yang hirau. Van Goh hidup miskin, menjadi gila. Bahan tragisnya dia sampai memotong telinganya sendiri. Karya-karya dianggap sampah dan tak ada yang meliriknya.

Uniknya Van Gogh kemudian baru terkenal setelah meninggal. Entah karena apa, tiba-tiba karyanya dicari di forum lelang bergengsi lukisan dunia. Karyanya dicari-cari kolektor. Lukisannya melambung setinggi langit. Van Gogh jadi terkenal, dijadikan pelukis maestro dunia, lukisan menjadi berkelas nomor wahid. Van Gogh dipuja-puja setelah dia tak ada di dunia.

Dalam soal ini saya teringat apa yang dahulu dikatakan mendiang Probo Sutedjo. Adik Pak Harto ini dengan enteng dan sadar mengomentari segala tuduhan pejoratif kepada kakaknya yang selama 32 tahun menjadi presiden Indonesia.''Manusia itu biasa, suka sekali memukul orang yang sudah jatuh. Mengapa? karena memukul orangnya ketika masih berdiri (berkuasa) mereka tak berani!

Dan sama dengan apa yang dikatakan Probo Sutedjo, mendiang politisi NU, Slamet Effedy Yusuf dan juga hingga cendikiawan Prof DR Abdul Hadi WM, juga berkata senada. Dia menceritakan nasib Soekarno ketika di maki-maki banyak orang di akhir masa kekuasaannya. Segala tingkah polahnya dianggap salah dan serba jahat.

''Apakah kalian masih ingat berbagai bunyi poster dan spanduk di akhir tahun 1960-an. Saat itu semua menghujat Soekarno habis-habisan. Eh sekarang dipuja-puja,'' kata Slamet.

Dan dalam sebuah perbincangan Abdul Hadi juga bicara hampir sama.''Masih ingatkah tuduhan buruk kepada Soekarno di masa peralihan dari Orde lama ke Orde Baru. Berbagai teriakan para demontran bahkan ada yang sangat kurang ajar menuduh isterinya orang tak berharga. Bahkan seruannya kala itu adili dan penjarakan Sokerno."

Di titik kesadaran polah manusia yang sering pelupa dan hipokrit, unjuk dua jempol perlu diberikan untuk menghargai apa yang telah dilakukan Mas Isti Nugroho beserta kawan-kawannya dahulu. Dia masuk penjara demi kemerdekaan manusia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement