Jumat 16 Aug 2019 04:37 WIB

Seperti Apakah Hari-Hari Pertama Kemerdekaan Itu?

Di masa awal kemerdekaan semua serba sederhana.

Rumah Soekarno di PegangsanTimur tempat proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada 18 Agustus 1945. Rumsh ini sebenarnya sumbangan saudagar keturunan Arab-Yaman, Yusuf Martak.
Foto: gahetna.nl
Rumah Soekarno di PegangsanTimur tempat proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada 18 Agustus 1945. Rumsh ini sebenarnya sumbangan saudagar keturunan Arab-Yaman, Yusuf Martak.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Bagaimana sih suasana hari-hari pertama kemerdekaan? Pertanyaan seperti inilah yang terus menggantung dan terasa begitu penting jelang perigatan hari medeka ini.

Salah satu orang yang bisa jawab adalah Ridwan Saidi. Budayawan Betawi ini melalui rekaman yang diviarlkan di Youtube,  bercerita banyak soal masa itu. Kisahnya menarik karena Ridwan adalah anak Jakarta yang mengalami langsung suasana hari di masa-masa awal kemerdekaan.

''Begitu ada proklamasi merdeka, maka orang-orang di Jakarta pada gembira. Orang banyak yang bernyanyi dengan aneka lagu yang dibuatnya sendiri. Misalnya lagu Potong Roti. Syairnya begini: potong potong roti, roti dari mentega, Belanda sudah pergi, ninggalin janda-janda,'' kata Ridwan sembari terkekeh-kekeh.

Akibat lagu itu, tentu saja membuat kaum ibu marah-marah. Tapi lagu ini populer hingga Belanda benar-benar datang lagi ke Jakarta pada Februari 1946 dengan membenconteng tentara sekutu.''Kira-kira lagu itu populer mulai November 1945 sampai Belanda datang lagi menduduki Jakarta pada bulan Februari 1946,'' ujarnya.

Dan setelah proklamasi, pada masa awaknya pembagian mana wilayah RI dan mana yang masih wilayah Belanda juga membingungkan penduduk. Kata Ridwan karena pembagian wilayah kala itu tidak sejelas layaknya 'belah duren': mana wilayah Republik (disebut awam dengan sebutan Kiblik), dan mana wilayah kekuasaan Belanda.

"Misalnya saya sekolah rakyat (SD) di Jalan Taman Sari I, Jakarta Pusat. Eh, ternyata sekolah saya itu aadalah wilayah Beanda. Baru diseberangnya, yakni di Jalan Taman Sari 2 wilayah 'Kiblik','' katanya lagi.

Keadaan ini setidaknya membingungkan ibu-ibu di Jakarta yang kala itu banyak yang bekerja lintas wilayah.''Misalnya di dekat rumah saya banyak kaum ibu yang bekerja di pabrik kemeja . Mereknya masih saya ingat 'Shampo'. Nah, untuk kerja mereka harus melintasi wilayah dengan kekuasaan berbeda. Nah ketika melintas itulah banyak terjadi razia oleh tentara Belanda.''

''Yang kasihan kalau terkena razia karena kedapatan memakai lencana atau Pin berlambang bendera merah putih. Biasanya pasukan Belanda menyuruh yang terkena razia menelan PIN itu. Padahal itu terbuat dari besi. Razia seperti ini acapkali terjadi di seputaran bilangan Gambir,'' tutur Ridwan Saidi.

Keterangan foto: Tentara Sekutu tiba di Jakarta pada Februari 1946.

Pada catatan lain, yakni melalui buku yang menceritakan hari pertama masa kemerdekaan, juga tak berbeda dengan apa yang dikatakan 'Babe' Ridwan. Pergantian kekuasaan kala itu memang belum jelas benar. Bahkan, pada hari pertama orang kebanyakan tak tahu bahwa sudah terjadi pembacaan proklamasi kemerdekaan. Kabar kemerdekaan ini baru beredar sore hari (jumat sore, 17 Agustus 1945) melalui poster yang dipasang aktivis pelajar yang tinggal di sekitar Menteng. Poster ini pun dicetak sederhana dan dipasangkan di tembok dan pepohonan pinggir jalan.

Tapi yang pasti, situasi hari-hari kemerdekan meski terkesan tenang sebenarnya menegangkan. Untungnya tidak terlalu banyak terjadi gangguan keamanan. Pasukan Kempetai yang bermarkas di sekitar Lapangan Banteng nasih tetap berjaga seperti biasa. Warga Jakarta masih tetap takut melewati tempat itu.

Situasi aman tersebut juga berkat tangan dingin Mr Kasman Singodimedja. Komandan Peta tersebut mampu membuat suasana kondusif. Ini sudah dibuktikan dengan suksesnya prosesi pembacaan teks proklamasi yang dibacakan Bung Karno di halaman rumahnya yang ada di bilangan Pegangsaan. Apalagi banyak yang tak tahu petugas pengibar bendera merah putihnya pada waku itu adalah anak buat Kasman, yakni para anggota Peta.

Akibat jasa para anggota Peta di bawah komando Kasman Singadimedjo (kemudian menjadi ketua parlemen pertama RI), hingga sore hari bendera merah putih itu dapat berkibar dengan selamat. Tak ada insiden atau razia penurunan bendera itu dari pasukan Jepang.Kondusifnya suasana keamanan ibu kota kala itu juga berkat jasa para jawara bahkan premen yang menjadi 'jago' di setiap kampung dan keramaian.

Pada kesaksian yang lain ada cerita menarik dari mendiang Adnan Buyung Nasution. Katanya, pada awal masa merdeka kehidupan memang tak banyak berubah. Situasi baru terasa benar-benar berbeda saat ayahnya yang wartawan kantor beria Antara memboyong keluarganya pindah ke Yogyakarta seiring kepindahan ibu kota ke sana.

"Saya merasakan situasi yang tak jelas. Terutama ketika kami tinggal di Yogyakarta hingga tahun 1950. Yang terasa kaum terpelajar atau elit berpendidikan kebanyakan tak pro Republik. Kami minoritas. Kebanyakan orang terpelajar kala itu mencari 'senangnya' sendiri,'' ujar mendiang Buyung pada suatu waktu ketika menceritakan masa awal kemerdekaan.

Lain lagi cerita mendiang wartawan Rosihan Anwar soal suasana masa awal kemerdekaan. Rosihan yang pada penghujung dekade 1940-an (menjelang pengakuan kemerdekaan) menjemput Jendral Sudirman pulang ke Yogyakarta dari markas gerilya yang kala itu berada di sekitar wilayah pegunungan Pacitan, mengisahkan bila suasana hidup kala itu masih serba sederhana.

''Tidak semua orang setegar yang kita pikirkan. Pak Dirman misalnya sempat menangis di depan Sukarno ketika Yogyakarta di serang Belanda pada agresi kedua. Pagi itu saat bertemu Bung Karno, Pak Dirman bercucuran air mata. Sukarno pun bermata sembab,'' kenang mendiang Rosihan kala bercerita tentang masa awal kemerdekaan di dalam lift Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) yang berada di pinggur ruas jalan Gatot Subroto.

Tapi ada cerita lain dari mendiang pelukis Roesli ketika bercerita tentang suasana hidup di masa awal kemerdekaan. Dia menceritakan pengalamannya yang kala menjadi anggota pasukan TNI pimpinan Letkol Suharto.''Ya kala itu memang suasana sederhana. Saya merasa belum banyak pamrih."

Rusli pin punya kenangan menarik. Dan itu adalah soal sosok Letkol Soeharto yang kemudian menjadi Presiden RI." Khusus untuk Pak Harto dari daulu saya lihat sendiri dia seorang pemberani.Misalnya, kalau terdengar tembakan dia tak akan lari begitu saja. Dia malah mencari sumber tembakan itu."

''Bahkan kala itu Pak Harto setiap malam selalu pergi mengecek pasukannya yang tersebar di sekeliling Yogyakarta. Uniknya, ketika melakukan pengecekan dia tidak pernah mau melewati jalan biasa karena akan tertangkap patroli Belanda. Pak Harto dengan mengenakkan caping dan celana selutut, selalu berjalan melalui pinggir sungai. Bahkan kadang-kadang dia menceburkan diri ke dalam air di tengah malam dengan tujuan agar bisa melintasi wilayah itu dengan aman,'' tutur mendiang pelukis Rusli pada sebuah percakapan di Taman Ismail Marzuki beberapa tahun silam.

Akhirnya, apa pun artinya merdeka, meski mungkin pada awalnya terkesan sebuah sebuah peristiwa sederhana, ternyata harus tetap disyukuri dan dipelihara. "Jangan sia-siakan kemerdekaan," begitu pesan Bung Hatta dahulu.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement