Kamis 15 Aug 2019 06:19 WIB

Semrawutnya Ojek Daring 'Dalang' Kemacetan di Palmerah

Adanya selter juga dinilai kurang efektif untuk menertibkan pengemudi ojek daring.

Rep: Nurul Amanah/Antara/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di kawasan Palmerah, Jakarta, Senin (15/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di kawasan Palmerah, Jakarta, Senin (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Pengendara sepeda motor tampak semrawut memenuhi sisi jalan. Barisannya cukup panjang, memenuhi sepanjang jalan bagian timur dan barat Stasiun Palmerah. Pemandangan seperti ini lazim dijumpai saat jam-jam kerja sehingga mengganggu lalu lintas kendaraan yang cukup padat melintasi Jalan Tentara Pelajar, Jakarta Pusat, ini.

Para pengemudi ojek daring ini biasanya menunggu penumpang yang keluar dari Stasiun Palmerah. Ada pengemudi yang terlihat sibuk menelepon penumpang sambil meneriakkan nama penumpangnya tersebut. Ada yang sedang santai sambil merokok duduk di pinggir jalan, menunggu dering ponselnya berbunyi yang menandakan ada penumpang yang membutuhkan jasanya.

Petugas yang mengatur lalu lintas pun kewalahan. Sesekali mereka mengingatkan dengan berteriak, “Minggir, minggir”. Namun, hal tersebut tak digubris oleh pengemudi ojek daring. Mereka pun akhirnya memilih untuk mengatur arus lalu lintas yang semakin padat ketimbang terus meminta para pengendara untuk bergegas meninggalkan barisan.

Selain mengganggu arus lalu lintas, barisan ini juga mengganggu efisiensi halte Transjakarta. Sekumpulan pengemudi ojek daring ini menutupi Halte Transjakarta Palmerah yang seharusnya digunakan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang Transjakarta.

Erisa, salah satu karyawati yang biasa menunggu Transjakarta di halte pintu timur Stasiun Palmerah, mengatakan terganggu dengan keberadaan pengemudi ojek daring yang membuat kemacetan panjang di jalan tersebut. Bahkan, saat jam-jam pergi-pulang kerja, kemacetan bisa berdampak hingga ke Dukuh Atas.

“Sudah bikin macet. Ditambah lagi halte itu kan buat Transjakarta ya. Harusnya enggak boleh naik-turun penumpang ojek di sini. Gara-gara ojek online ini, macetnya bisa panjang banget loh,” kata Erisa kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Karyawati berusia 30 tahun ini menambahkan, perlu disediakan selter khusus untuk menaikkan dan menurunkan penumpang ojek daring. “Harus ada selter. Tapi, harus dicari yang terdekat biar penumpangnya juga nggak jalan terlalu jauh. Biar sama-sama enak lah,” ujarnya.

Para pengemudi ojek daring pun sering kali menghadapi dilema. Mereka juga tak ingin membuat lalu lintas menjadi macet. Namun, tidak adanya selter khusus menyebabkan mereka terpaksa menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat.

Apalagi, mereka juga memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan terbaik bagi penumpang, termasuk menuruti keinginan penumpang untuk menaikkan dan menurunkannya di tempat yang diinginkan.

“Memang sebaiknya disediakan selter atau tempat penjemputan khusus untuk penumpang. Tapi, kadang si penumpangnya juga kan belum tentu mau kalau dialihkan ke selter, apalagi kalau jauh. Jadi, ada selter pun setengah efektif kayaknya,” ujar Ryan, salah satu pengemudi ojek daring.

Ryan terkadang merasa bersalah ketika penumpangnya memilih titik penjemputan atau pengantaran di tempat yang rawan macet. Apalagi, jika di halte Transjakarta. Namun, ia juga tak ingin mengecewakan penumpangnya.

Meski terkadang penumpangnya bisa diajak kompromi dengan titik yang ditentukannya, Ryan kerap mendengar keluhan penumpangnya karena harus berjalan agak jauh.

“Terus kasihan juga pas ketemu kita, eh tampangnya cemberut. Bilangnya capek abis jalan. Walaupun sebenarnya enggak jauh-jauh amat,” tuturnya.

Sementara itu, Indonesia Traffic Watch (ITW) menilai operasional kendaraan pribadi sebagai angkutan umum berbasis aplikasi (daring) turut memperkeruh situasi lalu lintas (lalin) di Ibu Kota Jakarta.

Ketua Presidium ITW, Edison Siahaan menambahkan, kemacetan lalu lintas, khususnya di Ibu Kota, juga dipicu sikap Kementerian Perhubungan yang membiarkan kendaraan pribadi beroperasi sebagai angkutan umum sehingga jumlahnya semakin membeludak dan tak terkendali.

Ribuan kendaraan bermotor, kata dia, belum memenuhi syarat sebagai angkutan umum, tetapi bebas beroperasi hingga berakibat pada beban kapasitas tampung jalan. “Sebaiknya, Menhub menyampaikan data dan informasi yang akurat berapa jumlah angkutan umum berbasis aplikasi yang sudah memenuhi syarat sesuai ketentuan berlaku," kata Edison.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement