Senin 12 Aug 2019 08:00 WIB

Sawah Makin Sempit, Warga Gn Kidul Diajak Makan Umbi-umbian

Lahan persawahan di Gn Kidul semakin sempit, warga diserukan tak tergantung beras.

Gerakan makan sayuran, buah, umbi-umbian, kacang-kacangan. (Dok)
Gerakan makan sayuran, buah, umbi-umbian, kacang-kacangan. (Dok)

REPUBLIKA.CO.ID, GUNUNG KIDUL -- Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, berupaya mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai bahan konsumsi utama. Sebagai alternatif, masyarakat diajak makan umbi-umbian.

"Beras masih menjadi sumber karbohidrat utama, bahkan masyarakat belum dianggap sarapan kalau belum makan nasi,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul Bambang Wisnu Broto di Gunung Kidul, Senin.

Baca Juga

Menurut Bambang, ketergantungan terhadap beras harus dikurangi sebagai antisipasi makin menyempitnya area lahan pertanian. Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan terus mengembangkan potensi pangan lokal yang dimiliki, seperti ubi, ketela, garut, uwi, hingga gembili.

Saat ini, tingkat ketergantungan beras di Gunung Kidul masih tinggi. Angka konsumsi berasnya mencapai 83 kilogram per kapita dalam setahun.

"Kami terus kampanyekan gerakan untuk mengurangi makan nasi dengan mengganti sumber karbohidrat lain, seperti umbi-umbian dan jagung. Selain itu, untuk kesehatan juga digerakkan makan sayur,” katanya.

Sementara itu, Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul Fajar Ridwan mengatakan bahwa potensi makanan lokal yang berasal dari umbi-umbian bisa menjadi bahan pangan yang cocok sebagai pengganti beras. Ia mengungkapkan, kandungan gizi pangan lokal tidak kalah serta diklaim lebih sehat karena kaya serat dan rendah gula.

"Jenis umbi-umbian yang dimiliki banyak seperti uwi, gembili, garut, hingga ganyong," ujarnya.

Fajar mengatakan, belakangan ada tren area lahan yang semakin menyempit. Program diversifikasi pangan pun harus digalakkan sehingga bisa menjadi solusi saat adanya ancaman krisis pangan.

Untuk pengembangan tanaman pangan lokal, dinas pertanian pangan sudah menggalakan program penyemaian bibit di 18 balai penyuluhan pertanian (BPP) di setiap kecamatan. Fajar mengatakan, pada 2040 diprediksi nilai pangan akan mahal dan terjadi krisis.

"Untuk itu, mulai sekarang harus digalakan program diversifkasi pangan dengan pengembangan tanaman pangan lokal, sehingga ketergantungan terhadap beras bisa terus ditekan,” kata Fajar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement