Senin 12 Aug 2019 07:25 WIB

Wukuf Arafah: Munajat di Bawah Siraman Hujan

Suara gemuruh petir juga keluar dari langit di atas Arafah meski tidak kencang.

Foto udara saat jamaah haji dari berbagai negara  memadati Jabal Rahmah saat berwukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi, Sabtu (10/8). Sekitar 2 juta jamaah haji dari berbagai negara  berwukuf di tempat ini sebagai salah satu syarat sah berhaji.
Foto: Umit Bektas/Reuters
Foto udara saat jamaah haji dari berbagai negara memadati Jabal Rahmah saat berwukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi, Sabtu (10/8). Sekitar 2 juta jamaah haji dari berbagai negara berwukuf di tempat ini sebagai salah satu syarat sah berhaji.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Muhammad Hafil dari Makkah, Arab Saudi

Fadli (43 tahun), seorang anggota jamaah haji Indonesia bergegas keluar dari tendanya di Arafah yang terletak di Maktab 4. Anggota jamaah haji asal Embarkasi Batam tersebut keluar menyambut hujan yang turun di Arafah pada siang hari itu.

Rinai hujan kala itu jatuh tak terduga karena, saat dimulainya wukuf yang ditandai dengan pelaksanaan jamak takdim qasar Zhuhur dan Ashar, cuaca di luar tenda panas dan terik. Dua jam setelahnya, atau sekitar pukul 14.50 WAS, Fadli yang sedang berbaring santai di dalam tenda mendengar gemuruh petir dari langit.

Meski tak kencang, iramanya berkesinambungan dan dilanjutkan dengan hujan rintik-rintik. Membasahi ranah dan atap tenda di Arafah.

Fadli kemudian mencari tempat di bawah pohon Sukarno untuk kembali melanjutkan munajatnya kepada Allah. “Hujan dan wukuf di Arafah, betul-betul waktu yang sangat diijabah untuk berdoa,” kata Fadli.

Sementara, di Maktab 26, atau tenda yang merupakan markas Misi Haji Indonesia, sebagian besar penghuni tenda yang merupakan petugas haji juga ikut keluar untuk berdoa. “Ini waktu yang sangat baik sekali. Hujan dan wukuf, ayo berdoa dan keluarkan air matamu, jangan malu meminta kepada Allah,” kata Edison, salah seorang petugas haji.

Menurut Edison, saat tidak hujan saja, doa-doanya sewaktu wukuf di Arafah beberapa tahun lalu banyak yang dikabulkan. “Apalagi ini ditambah hujan. Hujan adalah rahmat Allah,” kata dia.

Berdasarkan pantauan Republika, hujan mengguyur padang Arafah dua jam setelah pelaksanaan khutbah wukuf. Saat pelaksanaan wukuf, suhu di Arafah cukup panas, sekitar 40 derajat Celsius.

Awalnya, cuaca yang terasa panas dan terik setelah khutbah wukuf berubah menjadi teduh. Angin sepoi-sepoi berembus ke tenda-tenda jamaah. Tidak hanya itu, pohon-pohon Sukarno yang banyak tumbuh di Arafah bergoyang mengikuti tiupan angin.

Langit juga berubah mendung, padahal langit terlihat cerah. Selain itu, suara gemuruh petir juga keluar dari langit meski tidak kencang.

Hujan awalnya turun secara rintik-rintik. Kejadian ini dimanfaatkan oleh jamaah haji untuk keluar tenda dan berdoa. Hujan kemudian turun cukup kencang dan membuat jamaah haji kembali masuk ke tendanya. Pukul 15.25 WAS, hujan sudah mulai reda. Namun, suara gemuruh petir masih terdengar.

Saat hujan berlangsung, banyak juga terlihat jamaah haji dari berbagai negara yang berlalu lalang. Tak sedikit yang membiarkan diri mereka diguyur air hujan, emoh memayungi diri sendiri. Mereka umumnya berjalan dari tenda-tendanya menuju bukit-bukit di Padang Arafah.

Tujuh orang yang terdiri atas tiga orang lelaki dan empat orang wanita, Ahad (11/8) pagi, sudah berada di aula Kantor Urusan Haji Indonesia Makkah. Mereka yang masih berpakaian ihram lengkap sedang disuguhi minuman dan makanan oleh para petugas haji yang piket di kantor.

Hujan yang mengguyur seperti memberi energi ekstra kepada para jamaah yang langsung bergegas melintasi Muzdalifah untuk kemudian melontar jumrah. Tujuh anggota jamaah, enam berasal dari kloter dan embarkasi yang sama, yaitu Embarkasi MES (Medan), dan satu dari kloter 1 PLM (Palembang) ada di antara jamaah itu.

“Saya baru sampai di tenda dari Arafah dan Muzdalifah di Mina sekitar pukul 02.30 WAS langsung diajak untuk melontar jumrah. Katanya nanti kalau langsung jalan bisa ketemu waktu yang paling utama, yaitu setelah subuh sampai waktu dhuha,” kata Nasruddin (75 tahun).

Dia yang diajak oleh pembimbing ibadah tempat kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH)-nya bergabung, manut saja diajak. Apalagi, dia mendengar anjuran dari pembimbing ibadahnya yang menyebutnya sebagai waktu utama karena Nabi Muhammad melontar jumrah pada waktu subuh setelah di mabit di Muzdalifah.

Namun, usia Nasruddin yang sudah tua itu tak sepadan dengan semangatnya. “Di tengah jalan saya enggak kuat, lalu saya berhenti dan kemudian terpisah dengan teman-teman saya,” kata Nasruddin.

Marwasih (67), yang mewakili lima orang temannya dari Embarkasi Medan, mengatakan hal yang sama. Dia diajak oleh pembimbing ibadahnya yang juga berasal dari KBIH tempat mereka bernaung untuk melaksanakan lontar jumrah pada pukul 04.00 WAS. “Ya, kami ini kan sudah tua-tua, tak kuat kami jalan, apalagi orang banyak dari berbagai negara yang badannya besar-besar, kehilangan jejak kami,” kata Marwasih.

Mereka sangat berharap agar segera dikembalikan bersama rekan-rekan mereka di tenda Mina. Menanggapi keinginan itu, petugas pun langsung menangani mereka yang terpisah ini untuk segera diantar ke tendanya. Mereka juga diberikan edukasi agar melontar jumrah di waktu-waktu yang telah ditentukan untuk jamaah haji Indonesia.

Sebelumnya, Pemerintah Arab Saudi sudah mengeluarkan jadwal melontar jumrah, termasuk jadwal melempar jumrah untuk jamaah haji asal Indonesia. Jadwal yang dikeluarkan yaitu pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijah. Untuk Indonesia, pada jadwal lempar jumrah 10 Dzulhijah, jamaah dilarang dilarang melontar dari pukul 04.00 sampai jam 10.00 pagi.

Menurut Kepala PPIH Arab Saudi Daerah Kerja (Daker) Makkah Subhan Cholid, jam-jam tersebut sangat padat karena jamaah haji dari berbagai negara yang jadwalnya sudah ditetapkan berebut melempar jumrah di waktu utama tersebut.

Pihak penyelenggara haji dari Saudi maupun Indonesia khawatir kepadatan tersebut bisa memicu peristiwa tabrakan antarjamaah yang dulu sempat merenggut nyawa pada musim haji terdahulu. “Juga untuk menghindari padatnya lalu lintas dan itu menghambat kendaraan yang mengantarkan jamaah dari Muzdalidah ke Mina,” kata Subhan.

Kemudian, pada 11 Dzulhijah, jamaah bebas melontar pada jam berapa pun dari dini hari 11 Dzulhijah hingga dini hari 12 Dzulhijah. “Kapan saja bebas, jamaah haji Indonesia dan Asia Tenggara bebas melempar jumrah,” kata Subhan.

photo
Jamaah haji mulai berdatangan di Jamarat setelah sebelumnya bermalam dan singgah di Muzdalifah dan Mina usai melaksanakan wukuf di Arafah, Makkah, Arab Saudi, Ahad (11/8)

Pada 12 Dzulhijah itu, jamaah Indonesia dilarang melakukan lempar jumrah dari jam 10.00 sampai jam 14.00. “Karena nafar awal, jamaah dari seluruh dunia berdesak-desakan mengejar afdholiah-nya (Keutamaan) yang ba'da zawal (setelah tergelincir matahari). Nah, itu jam 10.00 sampai jam 14.00 untuk Asia Tenggara tidak diizinkan untuk melempar jumrah. Kemudian, pada 13 Dzulhijah bebas dari pagi sampai dengan jamaah selesai melakukan nafar tsani,” kata Subhan.

Menurut Subhan, dari pengalaman ibadah haji sebelumnya, banyak juga jamaah Indonesia yang tetap berkeras menggunakan waktu afdal untuk melempar jumrah. Oleh karena itu, dengan adanya surat pengumuman dari Arab Saudi ini, Subhan mengatakan, pihaknya akan mengedarkan ke seluruh sektor dan daker sehingga jamaah bisa mempertimbangkan dan mengukur diri. “Ini untuk mencegah kemudharatan (keburukan) yang lebih besar,” kata Subhan.

Kepala Seksi Perlindungan Jamaah PPIH Arab Saudi Daerah Kerja Makkah Maskat Ali Jasmun mengatakan, sudah tidak zamannya mengejar waktu afdal, tetapi justru membuat jamaah saling terpisah. Apalagi, pergerakan jamaah dari tenda di Mina menuju tempat melontar jumrah di Jamarat merupakan waktu yang rentan. n ed: fitriyan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement