Senin 12 Aug 2019 05:29 WIB

Tanggung Jawab Listrik Bukan Hanya di Pundak PLN

Harus diakui PLN sering kali menghadapi situasi yang sulit

Petugas PLN memperbaiki gardu listrik saat pemadaman listrik serentak se-Pangandaran di Cikidang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Ahad (21/7/2019).
Foto: Antara/Adeng Bustomi
Petugas PLN memperbaiki gardu listrik saat pemadaman listrik serentak se-Pangandaran di Cikidang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Ahad (21/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip, Ekonom

Belum banyak yang memahami PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sesungguhnya merupakan satu dari sekian banyak pihak yang terlibat (stakeholder) dalam mata rantai kelistrikan kita. Karena itu, sesungguhnya tanggung jawab kelistrikan kita tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada PLN.

Dalam program percepatan infrastruktur kelistrikan 35 gigawatt (GW), misalnya, peran PLN dalam penyediaan pembangkit tenaga listrik (power) hanya sekitar 25 persennya (8,7 GW), sedangkan peran swasta sekitar 75 persennya (26,6 GW). Tentunya, sektor kelistrikan kita tidak hanya sebatas penyediaan tenaga listrik. Di luar usaha pembangkitan inilah peran PLN justru lebih vital.

Mata rantai usaha sektor kelistrikan kita meliputi bisnis hulu dan hilir. Di bisnis hulunya, usaha kelistrikan meliputi (i) penyediaan tenaga listrik atau pembangkitan dan (ii) penyediaan energi primer atau bahan bakar. Untuk menjaga keandalan mesin pembangkit, diperlukan usaha penunjang di bidang pengelolaan dan pemeliharaan pembangkit (operation and maintenance/OM).

Kemudian, untuk memperlancar pasokan energi primer dari sumbernya ke pembangkit (seperti batu bara, gas, dan energi baru terbarukan/EBT), diperlukan bisnis penunjang di bidang transportasi dan bisnis penunjang lainnya. Pelaku di sektor ini beragam, yaitu PLN sendiri dan swasta.

Di bidang usaha pembangkitan, misalnya, penyediaannya bisa dari PLN dan swasta (yang lebih kita kenal dengan istilah independent power producer/IPP). Bahkan, peran IPP dalam hal usaha pembangkitan bisa lebih dominan dibanding PLN.

Agar listrik yang dihasilkan oleh usaha pembangkitan dapat dinikmati konsumen, diperlukan transportasi. Di sinilah mulai masuk bisnis hilir sektor kelistrikan. Tentunya, transportasi listrik berbeda dengan transportasi yang digunakan untuk memindahkan barang.

Di sektor kelistrikan, transportasinya berupa gardu induk dan jaringan transmisi. Pelaku di bisnis hilir kelistrikan ini masih terbatas, yaitu PLN. PLN-lah yang memiliki tanggung jawab menyediakan dan menjaga keandalan operasional gardu induk dan jaringan transmisi. Dalam program kelistrikan 35 GW, PLN memiliki tanggung jawab untuk membangun jaringan transmisi sepanjang 46 ribu kilometer sirkit (kms) dan gardu induk sebesar 108 ribu mva. Berdasarkan data, dalam empat tahun terakhir, penambahan transmisi telah mencapai sepanjang 14.830 kms dan gardu induk sebesar 59.223 mva.

Karena besarnya tanggung jawab PLN tersebut, PLN harus memiliki kemampuan dan kinerja yang kuat dari sisi operasional maupun finansial. Kemampuan operasional PLN diperkuat, antara lain, melalui peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan teknologi. Sementara itu, dari sisi kemampuan keuangan, PLN perlu didukung dengan sumber pendapatan yang terjamin (secured), pengelolaan biaya yang tepat (antara efisiensi dan keandalan operasional), pengelolaan cash flow yang baik, dan penempatan investasi yang tepat.

Harus diakui PLN sering kali menghadapi situasi yang sulit dalam menjalankan perannya di sektor kelistrikan di bisnis hulunya terutama di bisnis hilirnya. Sebagai contoh, PLN ditugaskan pemerintah untuk menyelesaikan program kelistrikan 35 GW (hulu dan hilirnya). Untuk menjalankan program kelistrikan tersebut, tentunya PLN perlu didukung dengan kemampuan finansial yang kuat.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pada awal penugasan, kemampuan finansial PLN sebenarnya terbatas. Meski dengan kemampuan finansial yang terbatas, program kelistrikan 35 GW harus tetap dijalankan karena telah menjadi ketetapan pemerintah.

Karena itu, diperlukan kreativitas di bidang keuangan untuk meningkatkan kemampuan keuangan (credit enhancement) PLN di mata investor dan kreditur. Maka, dilakukanlah langkah-langkah, misalnya, penambahan modal, revaluasi aset, skenario investasi 51 persen (PLN) dan 49 persen (swasta) dengan setoran modal PLN di bawah 51 persen (10-20 persen), serta beragam kreativitas keuangan (financial engineering) lainnya.

Dengan beragam kreativitas keuangan tersebut, tidak mengherankan bila kemampuan berutang (leveraging ratio) PLN meningkat. Harus diakui, nominal utang PLN memang meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada akhir 2018, utang PLN mencapai Rp 565 triliun, meningkat Rp 111 triliun dibanding posisi akhir 2014 sebesar Rp 454 triliun.

Meskipun nominal utang meningkat, rasio utang dan rasio kemampuan membayar utang PLN sesungguhnya masih sehat. Rasio solvabilitas PLN justru membaik dari 65,31 persen (2014) menjadi 37,91 persen (2018).

Peningkatan nominal utang tidak serta-merta menyebabkan rasio kemampuan membayar utang menurun. Pasalnya, peningkatan utang PLN diimbangi pula dengan kenaikan aset yang lebih tinggi sehingga rasio solvabilitasnya menurun. Namun, PLN memang perlu menjaga kemampuan cash flow-nya sebab rasio tunainya cenderung menurun dari 0,32 persen (2014) menjadi 0,21 persen (2018).

Penambahan utang merupakan konsekuensi dari kebutuhan investasi yang tinggi, di tengah keterbatasan sumber dana internal PLN. Investasi tinggi memang dibutuhkan untuk percepatan infrastruktur kelistrikan.

Pilihannya memang tidak banyak; tidak berani berutang dengan konsekuensi dan tidak dapat mengejar target pembangunan infrastruktur kelistrikan dengan cepat. Atau berani berutang dan bisa membangun infrastruktur kelistrikan dengan cepat. Itulah trade-off-nya dan PLN harus memilih.

Tantangan yang dihadapi PLN sangat beragam, baik di hulu maupun hilirnya. Di hulunya, PLN menghadapi masalah keterjaminan pasokan dan kestabilan harga energi primer. Sementara itu, di hilirnya, PLN antara lain dihadapkan pada kurang terjaminnya sisi pendapatan (revenue). Untuk menjamin kepastian pendapatannya, PLN membutuhkan kepastian tarif listrik. Sayangnya, kepastian tarif ini sulit diperoleh. Sejak 2017, tarif listrik belum disesuaikan.

Di sisi lain, tekanan kenaikan biaya akibat kenaikan harga energi primer dan pelemahan nilai tukar terus terjadi. Konsekuensinya, PLN dihadapkan pada dua tantangan sekaligus, yaitu peningkatan biaya dari sisi hulunya dan keterbatasan pertumbuhan pendapatan dari sisi hilirnya.

Begitulah lingkungan bisnis yang dihadapi PLN. PLN seolah menjadi sentra dari seluruh mata rantai sektor kelistrikan kita dengan berbagai dinamikanya. Padahal, selain PLN, stakeholder sektor kelistrikan kita sangat beragam, mulai dari pemerintah (pusat dan daerah), investor, kreditur, penyuplai, masyarakat konsumen, dan lain sebagainya.

PLN memang dituntut piawai dalam mengelola seluruh tantangan yang dihadapi, termasuk piawai dalam mengelola beragam kepentingan dari stakeholder. Peran stakeholder di luar PLN dalam mata rantai sektor kelistrikan kita tentunya tak kalah strategisnya.

Pemerintah, misalnya, memiliki dua peran sekaligus. Pertama, peran di bidang regulasi sangat strategis untuk mendorong percepatan pembangunan sektor kelistrikan. Peran pemerintah di bidang regulasi, antara lain, diharapkan melalui kebijakan tarif listrik, pasokan dan harga energi primer, serta kepastian pembayaran subsidi.

Kedua, peran sebagai pemilik PLN juga diharapkan terutama dalam menjaga dan meningkatkan kemampuan PLN sebagai korporasi di bidang operasional dan keuangan. Kedua peran pemerintah tersebut penting bagi PLN, terutama untuk menjaga keberlanjutan usaha PLN sebagai korporasi yang mendapat tugas percepatan infrastruktur kelistrikan dan sekaligus menjaga keandalannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement