Jumat 09 Aug 2019 03:22 WIB

Warga Kuningan Miliki Manuskrip Diduga Serat Murtasiah

Manuskrip sebanyak 37 halaman itu disebut berisi bahasa sansekerta yang rumit.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Yudha Manggala P Putra
Negarakretagama sebagai salah satu identitas bahasa sansekerta ada dalam bahasa Indonesia.
Foto: Menachem Ali
Negarakretagama sebagai salah satu identitas bahasa sansekerta ada dalam bahasa Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN --- Sekitar lima belas tahun lalu, Gusna Pandanarang memperoleh sebuah manuskrip kuno. Manuskrip sebanyak 37 halaman itu berisi tulisan sanskerta. Pada setiap halamannya terdapat juga simbol bendera yang menjadi pembatas kalimat-kalimat.

Warga Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan itu pun sudah beberapa kali mencoba untuk mengupas isi dari manuskrip itu. Ia pun sudah beberapa kali meminta bantuan para ahli yang biasa menggeluti manuskrip berbahasa sanskerta untuk menterjemahkan isinya. Meski demikian manuskrip yang kini masih disimpannya itu belum berhasil dikupas secara menyeluruh.

“Sudah ada upaya beberapa kali untuk mencari kandungan isinya tapi belum berhasil. Kalau memang ini ada manfaat, ada hikayat atau sejarah kenapa tidak untuk dibagi. Kalau sekiranya diterjemahkan ada manfaatnya untuk khalayak ramai kenapa tidak untuk dibagi,” tutur Gusna saat berbincang dengan Republika.co.id pada Kamis (8/8).

Memang ada secuil keterangan yang diperoleh Gusna dari para ahli yang pernah mencoba untuk menggali manuskrip yang dimilikinya itu. Gusna menuturkan manuskrip yang dimilikinya termasuk dalam varian dari serat Murtasiah. Dari penelusuran Republika, serat Murtasiah merupakan salah satu karya sastra Jawa masa lalu yakni kesusastraan yang lahir dari komunitas pesantren. Terdapat dua tokoh utama yang diceritakan dalam serat Murtasiah yakni Syeh Ngarip dan Dewi Murtasiah.

Menurut Gusna, manuskrip varian serat Murtasiah yang dimilikinya juga tak jauh dari membahas hal-hal yang berhubungan dengan pedoman keluarga, pengenalan diri dan ajaran-ajaran tentang kehidupan. Meski begitu, jelas Gusna belum ada ahli yang dapat menjelaskan secara rinci tentang kitab yang dimilikinya itu. Terlebih menurutnya, bahasa sansekerta dalam manuskrip itu sangat berbeda dengan sanskerta yang umum diketahui para ahli bahasa kuno.

“Belum ada yang bisa membongkar isinya, saya juga kesulitan karena sanskerta yang digunakan terlalu rumit,” katanya.

Gusna menjelaskan dalam manuskrip yang dimilikinya itu memang terdapat beberapa simbol pengubah bunyi huruf seperti panyiku (pengubah menjadi bunyi U), paneling (pengubah menjadi bunyi E), panolong (pengubah menjadi bubuk O) dan pangwisad (pengubah untuk mematikan huruf H di akhir kalimat).

Meski demikian penulisan simbol  pada manuskrip yang dimilikinya jauh lebih rumit. Berdasarkan keterangan yang diperolehnya, mansukrip yang dimilikinya itu menggunakan sanskerta Jawa kuno. Gusna pun belum mengetahui makna di balik simbol-simbol bendera yang ada pada manuskrip itu. Meski bahan kertasnya sudah terlihat kusam namun kondisi manuskrip itu masih dalam keadaan utuh.

“Siapa yang menulisnya dan tahun berapa saya tidak tahu. Tapi perkiraan mungkin bersamaan saat awal-awal kesultanan Cirebon ada,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement