REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski belum secara resmi, Partai Amanat Nasional (PAN) telah memberikan sinyal akan bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Itu setelah Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyampaikan bahwa pihak siap mendukung pemerintahan Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin tanpa syarat apa pun.
"Tidak ada upaya untuk berharap atau meminta posisi politik di pemerintahan," kata Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi dalam pesan singkatnya, Kamis (8/8).
Viva menegaskan, meskipun mendukung pemerintahan Jokowi, PAN tetap bersikap kritis konstruktif terhadap jalannya pemerintahan agar bersih, transparan, dan kuat. Sikap kritis konstruktif dan upaya pengawasan PAN terhadap pemerintah akan terjelma dan terlihat melalui tugas-tugas konstitusional anggota DPR RI Fraksi PAN di lembaga legislatif.
"Seluruh parpol yang lolos PT di parlemen, baik yang berada di dalam atau di luar pemerintahan tentu akan menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif/pemerintah. Selama ini hal itu sudah berjalan di parlemen," tambahnya.
Viva melanjutkan, dengan posisi politik PAN seperti ini maka akan sesuai dengan platform, garis-garis besar perjuangan PAN, dan tidak menggadaikan idealisme sebagai partai yang lahir dari rahim reformasi. Karena sesuai platform PAN, di dalam pemerintahan atau di luar pemerintahan adalah sama-sama mulianya.
Di samping itu, Viva berpendapat lolos tidaknya ke parlemen tidak ditentukan oleh posisi politik parpol. Tapi ditentukan oleh beberapa faktor, pertama adalah kerja keras caleg meraih suara di dapil karena sistem penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Kemudian, masing-masing parpol yang lolos ambang batas parlemen 4 persen adalah parpol yang memiliki basis konstituen jelas.
Ditambah dengan suara simpatisan dan suara baru. Koalisi parpol pendukung Jokowi-KH Ma’ruf Amin tentu akan memilih paslon yang diusung sendiri. Begitu juga koalisi parpol pendukung Prabowo-Sandiaga akan memilih paslon sendiri di pilpres.
"Tetapi faktor cottail effect pilpres, tingkat penyebarannya tidak merata. Ada parpol yang diuntungkan, ada parpol yang tidak," terang Viva.
Jadi, menurut Viva, ambang batas parlemen atau parliamenthary threshold (PT) tidak ada korelasi positif dengan posisi parpol di pemerintahan atau tidak. Karena konfigurasi politik pusat dan daerah berbeda. Sehingga, kata Viva, menyebabkan wajah politik di daerah sangat dinamis, khas sesuai kondisi, dan tidak seragam.
"Apalagi dalam koalisi di pilkada, posisi politik parpol pusat sama sekali tidak menjadi faktor determinan dalam menentukan keputusan politik di daerah," tutur Viva.
Faktor selanjutnya, adalah mesin organisasi parpol bergerak mendulang suara yang dikomando oleh kader dan pengurus yang serius dan ideologis. Kemudian, adanya program parpol yang dirasakan dan dapat menyentuh hati rakyat.
"Berikutnya, tepatnya pelaksanaan strategi pemenangan pemilu, kemampuan logistik, dan ketangguhan saksi parpol mengawal suara di TPS," ungkapnya.
Terakhir, kata Viva, yaitu soliditas dan komitmen perjuangan pengurus partai serta berjalannya pembagian tugas pokok fungsi (tupoksi) dan kewenangan di internal partai sehingga tatanan dan mekanisme organisasi partai bisa berjalan sesuai AD ART dan Peraturan Partai. Tidak semrawut, tidak tumpang-tindih sehingga strategi politik partai dapat berjalan optimal.