Kamis 08 Aug 2019 07:47 WIB

Emirsyah Satar Dijerat Pasal Pencucian Uang

KPK langsung menahan Emirsyah Satar dan Soetikno.

Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (7/8).
Foto: Republika/Prayogi
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat mantan direktur utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dengan pasal pencucian uang. Penetapan itu merupakan hasil pengembangan dugaan suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls Royce PLC yang juga mentersangkakan Emirsyah.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, KPK menemukan fakta baru yang membuat skala penanganan perkara di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menjadi jauh lebih besar daripada konstruksi awal. Uang suap yang diberikan Beneficial Owner Connaught International Soetikno Soedarjo kepada Emirsyah dan Direktur Teknik PT Garuda Indonesia Hadinoto Soedigno tidak hanya berasal dari perusahaan Rolls Royce.

"Akan tetapi, juga berasal dari pihak pabrikan lain yang mendapatkan proyek di PT Garuda Indonesia," ujat Syarif di gedung KPK, Jakarta, Rabu (7/8). Karena itulah, sejak Kamis (1/8) KPK menetapkan Emirsyah dan Soetikno sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sementara itu, Hadinoto menjadi tersangka suap.

Dalam kasus TPPU, Emirsyah diduga melakukan pembelian kepada empat pabrikan pesawat pada 2008-2013. Keempatnya adalah kontrak pembelian mesin Trent seri 700 dan perawatan mesin (total care program) dengan perusahaan Rolls Royce.

Lalu kontrak pembelian pesawat Airbus A330 dan Airbus A320 dengan perusahaan Airbus SAS. Kontrak pembelian pesawat ATR 72-600 dengan perusahaan Avions de Transport Regional (ATR), dan kontrak pembelian pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan perusahaan Bombardier Aerospace Commercial Aircraft.

Syarif menuturkan, selaku konsultan bisnis Rolls Royce, Airbus, dan ATR, Soetikno diduga telah menerima komisi dari tiga pabrikan tersebut. Selain itu, Soetikno juga diduga menerima komisi dari perusahaan Hong Kong bernama Hollingsworth Management Limited International (HMI) yang menjadi sales representative dari Bombardier. Pembayaran komisi diduga terkait dengan keberhasilan pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA) itu membantu kontrak antara PT Garuda dan empat perusahaan.

"SS (Soetikno) selanjutnya memberikan sebagian dari komisi tersebut kepada ESA (Emirsyah) dan HDS (Hadinoto) sebagai hadiah atas dimenangkannya kontrak oleh empat pabrikan," ungkap Syarif.

Soetikno memberikan Emirsyah senilai Rp 5,79 miliar untuk pembayaran rumah di Pondok Indah serta 680 ribu dolar AS dan 1,02 juta Euro yang dikirim ke rekening perusahaan milik Emirsyah di Singapura. Kemudian, sebesar 1,2 juta dolar Singapura untuk pelunasan apartemen milik Emirsyah di Singapura. Untuk Hadinoto, Soetikno diduga memberi 2,3 juta dolar AS dan 477 ribu Euro yang dikirim ke rekening Hadinoto di Singapura.

Awalnya, dalam perkara pokok, KPK menetapkan Emirsyah dan Soetikno sebagai tersangka pada 19 Januari 2017. Emirsyah diduga menerima suap dari Soetikno berkaitan dengan pengadaan mesin Roll Royce untuk pesawat Airbus.

Pada Rabu, KPK juga menahan Soetikno dan Emirsyah setelah pemeriksaan. "Dilakukan penahanan 20 hari pertama terhadap tersangka ESA di Rutan C1 KPK (gedung KPK lama) dan tersangka SS (Soetikno Soedarjo) di Rutan Guntur," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Yuyuk Andriati Iskak.

Setelah mengenakan rompi tahanan KPK, Soetikno sempat menghadap media. Dia memohon restu untuk menjalani masa penahanannya. "Mohon doa restunya ya," tutur Soetikno sembari tersenyum. Sementara itu, Emirsyah memilih bungkam.

photo
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (7/8).

Minta maaf

Syarif juga meminta maaf atas keterlambatan penanganan kasus suap PT Garuda Indonesia. Pasalnya, saat rapat bersama Komisi III DPR, dia pernah menjanjikan kasus ini bisa selesai pada Juli. "Ini terlambat tujuh hari. Tapi, bukan kesengajaan, tapi karena ada perkembangan baru. Kasus ini memang tidak mudah karena melibatkan banyak negara," kata Syarif.

Menurut dia, kesulitan yang dihadapi KPK dalam penanganan kasus itu karena KPK juga harus bekerja sama dengan beberapa institusi penegak hukum yang ada di luar negeri, khususnya dengan CPIB Singapura dan SFO Inggris. Untuk memaksimalkan pengembalian ke negara, KPK saat ini melacak aset seluruh uang suap beserta turunannya yang diduga telah diterima dan digunakan oleh Emirsyah dan Hadinoto. "Baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri," kata Syarif.

Sejauh ini, kata Syarif, KPK telah berhasil menyita satu unit rumah yang beralamat di Pondok Indah, Jakarta. Selain itu, otoritas penegak hukum di Singapura juga telah mengamankan satu unit apartemen milik Emirsyah dan memblokir beberapa rekening bank di Singapura.

"KPK juga mengharapkan dukungan dan bantuan dari pemerintah, khususnya Kementerian BUMN, untuk perbaikan tata kelola BUMN dan Kementerian Luar Negeri untuk diplomasi dan kerja sama internasional dalam penyelesaian kasus-kasus multiyurisdiksi," ujar Syarif. n dian fath risalah, ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement