Rabu 07 Aug 2019 08:22 WIB

Mengambil Hikmah dari Padamnya Jakarta

Padamnya listrik seolah membuat Jakarta bisa merenggangkan kaki.

Friska Yolandha
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*

Seperti mati lampu ya sayang, seperti mati lampu

Cintaku tanpamu ya sayang, bagai malam tiada berlalu

Sayup-sayup saya mendengar seseorang bernyanyi dari kejauhan di tengah redup matahari yang akan bertugas di sisi lain bumi. Lagu yang dinyanyikan pedangdut Nassar ini memang cocok menggambarkan situasi pada Ahad (4/8) kemarin. Sebagian Jawa mati lampu karena masalah teknis di pembangkit yang memasok listrik untuk Jawa-Bali.

Mati lampu sudah terjadi ketika saya turun dari kereta komuter di Stasiun Lenteng Agung. Saat hendak ke minimarket, saya ditolak masuk karena minimarketnya mati lampu. Tak hanya minimarket, ketika meninggalkan parkiran, petugas mengatakan terpaksa melakukan transaksi manual karena listrik padam.

Ketika di jalan raya, lalu lintas mendadak semrawut. Lampu merah tidak berfungsi. Saat akan mencari tahu apa yang tengah terjadi ke media sosial, ponsel saya hilang sinyal. Saya pikir karena memang sinyal provider yang tengah buruk. Tetapi, sinyal ponsel suami pun ikut padam. Emergency calls only, begitu tulisan di ponsel saya.

Beberapa pesan singkat sempat masuk ke ponsel saya dan suami. Pesan singkat itu menyebut telah terjadi padam listrik se-Jakarta Raya. Bahkan, listrik padam hingga setengah Pulau Jawa.

Jutaan orang bertanya-tanya, ada apa ini? Apa ini dampak bawaan dari gempa di Banten beberapa hari sebelumnya? Atau, apakah ini sabotase? Ada yang mau meretas sistem pertahanan/keamanan negara?

Sinyal provider perlahan pulih mulai pukul 16.00 WIB. Ratusan percakapan masuk silih berganti dan membuat baterai ponsel semakin menipis. Di antara percakapan itu, ada sedikit penjelasan PLN soal blackout ini.

Plt Dirut PLN Sripeni Inten Cahyani mengatakan pemadaman terjadi akibat gangguan saluran udara Ungaran di sirkuit 1. Gangguan ini disusul sirkuit kedua dan menyebabkan jaringan SUTP Depok dan Tasik mengalami gangguan. Hingga Selasa (6/8), PLN mengaku terus melakukan pemulihan seluruh jaringan listrik.

Ingatan saya berlari ke tahun 2007-2009. Masa-masa itu adalah ketika saya masih tinggal di Padang, Sumatra Barat, dan sedang gencar-gencarnya pemadaman. Satu Kota Padang mati dari pukul delapan pagi sampai pukul delapan malam. Ekonomi lumpuh karena tidak ada listrik. Hanya sebagian pusat pertokoan yang beraktivitas karena punya genset, tetapi beban operasionalnya tentu membengkak.

Sayang, dulu tidak banyak media sosial untuk mencurahkan kekesalan, karena tidak bisa ngapa-ngapain. Namun, pengalaman pemadaman selama bertahun-tahun dan hampir setiap hari ini membuat saya lebih siap dengan padamnya listrik Jakarta pada akhir pekan lalu.

Tidak seperti Raffi Ahmad dan keluarga yang mengungsi ke Singapura atau memesan kamar di hotel seperti Raditya Dika, saya dan suami menikmati padamnya listrik dan sinyal di rumah, lalu mengungsi ke rumah ibu. Kami jadi punya waktu penuh untuk bermain bersama anak, membereskan rumah dan beristirahat dari gadget yang sehari-hari menemani bekerja. Detox gadget, begitu kata milenial.

Banyak yang seperti kami, tetapi banyak pula yang tak tahan dengan kondisi ini. Mal penuh, hotel fullbooked, jalanan ramai. Mereka para pemburu listrik memenuhi area publik untuk sekadar mendapatkan wifi dan colokan listrik.

Pada saat yang sama, kualitas udara Jakarta membaik. Air Visual melaporkan kualitas udara DKI Jakarta yakni 79 dengan parameter PM 2,5 konsentrasi 25,5 ug/m3 berdasarkan US Air Quality Index (AQI) atau indeks kualitas udara. Artinya kualitas udara Jakarta berada di level sedang atau moderate pada Senin per pukul 06.00 WIB.

Meski perlu penelitian lebih lanjut terkait hubungan matinya listrik dan kualitas udara, setidaknya pemadaman listrik memberi waktu bagi Jakarta untuk istirahat dari segala aktivitas. Kota Jakarta yang tak pernah tidur ini diberi kesempatan untuk sedikit 'meregangkan kaki' sebelum kembali dipenuhi aktivitas ekonomi oleh jutaan warga yang mengadu nasib di dalamnya. Atau, mungkin ini semacam simulasi bagi warga Jakarta yang sebentar lagi melepas status sebagai ibu kota.

"Biar terbiasa jadi orang kampung yang sering padam listrik," demikian salah satu cicitan warganet di Twitter.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement