REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Wanhar membantah tudingan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN ikut menyumbang pencemaran udara di Jakarta. Menurut, sebagian besar PLTU menggunakan gas alam.
"Bahan bakar sebagian besar PLTU di Jakarta dan sekitarnya menggunakan gas alam sehingga kandungan pencemarannya rendah," kata Wanhar di Jakarta, Sabtu (3/8).
Adapun PLU yang menggunakan bahan bakar batubara sudah dilengkapi dengan continuous emission monitoring system (CEMS) sehingga emisi yang dikeluarkan dapat secara terus menerus dipantau. Pendapat ini juga sesuai dengan hasil simulasi Pusat Penelitian Pengembangan PLN (PLN Research Institute) yang dituangkan dalam bentuk laporan mengenai pencemaran udara di Jakarta. Simulasi ini dihitung berdasarkan pembangkit listrik di PLTGU Muara Karang Blok, PLTGU Tanjung Priok, PLTGU Muara Tawar, PLTU Lontar, dan PLTU Suralaya Unit 8 PLN.
Wanhar juga mengungkapkan mengacu kepada RUPTL PT. PLN (Persero) 2019-2028 bahwasanya kebijakan pengembangan ketenagalistrikan di Indonesia sangat memperhatikan kebijakan penurunan emisi dan gas rumah kaca (GRK) nasional. Kebijakan PLN untuk mendukung target penurunan emisi itu meliputi pengembangan energi baru dan terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air, minihidro, biomassa, gas buang industri, surya, dan lainnya.
Berikutnya PLN memakai teknologi rendah karbon seperti penggunaan campuran bahan bakar biofuel untuk pembangkit listrik tenaga diesel. Kemudian juga pemanfaatan penyimpan energi seperti baterai, pompa storage, dan powerbank.
Selain itu, PLN juga melakukan sosialisasi untuk mengubah kebiasaan penggunaan energi dari pembakaran individual ke jaringan listrik. Misalnya penggunaan mobil listrik, kompor listrik, kereta listrik, MRT, dan LRT.
PLN mempromosikan penggunaan peralatan listrik yang efisien ditambah penghijauan dengan target 1.000 pohon untuk setiap unit induk PLN. Khusus untuk PLTU batubara, jelas Warhan, PLN juga menerapkan teknologi rendah karbon dengan tingkat efisiensi tinggi.
"Dengan diterapkannya teknologi semacam itu, maka konsumsi bahan bakar fosil akan berkurang, serta memberi dampak berkurangnya efek gas rumah kaca, emisi gas buang, dan pencemaran lingkungan hidup," ujarnya.
Tak hanya diterapkan bagi PLN, kegiatan pembangkit listrik milik swasta juga dikenai tuntutan untuk menurunkan emisi non GRK. Kepada mereka, pemerintah menerapkan ketentuan untuk pemasangan teknologi pengendalian pencemaran udara (PPU).
Beberapa unit pembangkit swasta telah memasang Flue Gas Desulphurization (FGD) untuk menurunkan kandungan sulfur pada gas buang dan hampir semua PLTU telah dilengkapi Low NOx Burner. Pada 2019 ini, diproyeksikan faktor emisi pembangkit di Indonesia bisa turun pada level 0,807 ton CO2/MWh. Angka itu diusahakan akan terus menurun hingga pada tahun 2028 nanti bisa menjadi 0,702 ton CO2/MWH.