Sabtu 03 Aug 2019 11:39 WIB

Fathiya, Saya Belajar Kepadamu

Siapakah yang benar-benar hidup di antara kita?

Suasana pelatihan menulis novel bersama Asma Nadia di Kantor Republika, Jakarta, Rabu (24/4).
Foto: Republika/Prayogi
Suasana pelatihan menulis novel bersama Asma Nadia di Kantor Republika, Jakarta, Rabu (24/4).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Pertanyaan itu bermain di benak saya, sementara mata terpaku pada foto sebuah postcard (kartu pos) di ponsel, yang menampilkan pemandangan beberapa landmark Sarajevo. Kota yang menerbitkan kerinduan, yang belum lama ini Allah perkenankan saya kunjungi kembali, kali ini bersama beberapa sahabat jalan bareng Asma Nadia ke Bosnia-Herzegovina.

Malam menjelang kepulangan ke Tanah Air, di salah satu sudut Old Town Sarajevo, ditemani secangkir cokelat panas, saya menulisi beberapa kartu pos. Tradisi yang sejak lama saya lakukan. Awalnya, hanya diperuntukkan kepada keluarga, agar suami dan anak-anak tahu, nama mereka berdetak di hati saya sepanjang perjalanan.

Alhamdulillah sejauh ini Allah mengizinkan saya mengunjungi 69 negara dan hampir 500 kota di dunia, dan walau hanya singgah dua jam di satu tempat, saya akan mengusahakan mengirim kartu pos bagi keluarga. Bagian dari upaya membangun impian anak-anak juga untuk melihat dunia yang luas, dan mentadaburi ciptaan-Nya.

Selain kepada keluarga, rutin kartu pos saya kirimkan sebelum pulang ke beberapa teman yang menurut saya membutuhkan perhatian ekstra. Sering juga melalui media sosial seperti Instagram, saya membuat kuis dengan hadiah kartu pos dari negeri yang dikunjungi.

Di antara 10 kartu pos yang malam itu teridang di meja, ada satu yang saya alamatkan untuk keponakan spesial, Fathiya Shafiatur Rahma, namanya. Bagi saya, Fathiya bukan hanya keponakan yang belum memasuki usia dua puluhan, melainkan juga inspirasi bagi siapa saja yang mengenalnya.

Oktober 2015 adalah awal gadis manis itu merasakan adanya benjolan di perut kiri bawah, awalnya hanya sebesar telur puyuh. Tidak ada nyeri saat ditekan, atau keluhan lain, seperti mual dan muntah.

Namun, benjolan tersebut semakin membesar. Hasil CT Scan menunjukkan tumor bagian pankreas, Kanker Primitive Neuro Ectodermal Tumor Abdomen, tepatnya. MRI pun dilakukan.

Hari-hari Fathiya setelah itu tidak sama lagi. Sejumlah kemoterapi, pengobatan, dan tindakan operasi harus dijalani. Takdir berbalik, tapi sanggupkah vonis dokter tersebut mematikan langkah gadis yang memiliki banyak cita-cita ini?

Sebelum sel-sel kanker itu menyapanya, putri tertua dari adik saya yang seorang dokter ini, bercita-cita mengikuti jejak ibunya, sebagai dokter, tapi mendalami lahan berbeda, onkologi. Ironis bahwa Fathiya justru harus lebih dulu menjalani hidup sebagai pasien terkait bidang yang ingin dia tekuni.

Kanker, tidak main-main. Namun, meski harus menjalani hari-hari melelahkan dan menyakitkan untuk menuju kesembuhan, Fathiya terus mengejar cita-citanya.

Tidak berpikir istirahat. Selain menjadi dokter, gadis berlesung pipit ini pun ingin menjadi penulis. Saya ingat betul hari ketika tubuh ringkihnya memasuki ruangan workshop menulis yang kami adakan. Sel-sel kanker yang menjalar tidak mampu menghentikan keinginan berkarya Fathiya. Sebuah buku lalu lahir dari tangannya.

Saya benar-benar takjub. Terlebih kemudian mendengar kabar Fathiya, alhamdulillah menamatkan hafalan 30 juz Alquran. Allahu Akbar. Ayat demi ayat, surat demi surat Alquran yang disimak, dibaca, dan diulang-ulangnya, bukan perkara mudah bagi mereka yang sehat, dan keponakan tersayang kami menjalaninya di tengah konsentrasi yang terusik rasa sakit, jadwal kemo dan operasi.

Mengingat lamanya waktu kartu pos dari luar sampai ke Tanah Air, saya kemudian tergerak memotret kartu pos yang saya kirimkan, dan mengirimnya melalui pesan WhatsApp. Kondisi fisik Fathiya sempat drop. Namun, gadis yang menyempatkan belajar bahasa Jerman ini berhasil melakukan umrah dan beberapa perjalanan, termasuk ke Jerman. Ini cita-cita Fathiya yang lain, yakni menjadi 'Jilbab Traveler'.

Malam merambat, tetapi sudut kota tua Sarajevo masih dipenuhi lalu lalang pengujung. Saya masih memandangi kartu pos yang ingin saya kirimkan kepada Fathiya. Kemudian saya menuliskan beberapa kalimat dan mengakhiri dengan sebuah kalimat pendek.

“Sembuh dan bersiap terbang menjelajah dunia lebih lagi, semangat Fathiya!”

Saya bersyukur, adik saya Nuly Juariah lalu menunjukkan foto kartu pos itu kepada putrinya, yang merespons tidak berapa lama kemudian.

“… bagus banget postcard-nya. Semoga Fathiya bisa ke sana juga. Pengin banget traveling bareng bunda Asma.”

Dan sekarang, kartu pos di ponsel kembali saya pandangi, makin lama makin kabur sebab air mata yang menderas setelah mendengar kabar Allah memanggil gadis kesayangan kami, paginya.

Empat tahun perjuangan hebat. Empat tahun yang tak disia-siakan sedetik pun oleh Fathiya. Saya cemburu, iri padanya yang berhasil menghadap Allah dengan bekal 30 juz Alquran di dada. Meski menurut Fathiya, dia jauh dari sempurna, dia seperti kebanyakan gadis lain.

I hope you know that I’m just like you, girls. That I cry too. Sometimes I have no idea then blame everything. I get scared. I get angry, I get impatient. I do silly things too and mess up all the time. I’m not that strong, actually. I’m not that good.

"Allah yang telah menyembunyikan kekurangan-kekurangan saya," tulis Fathiya suatu hari.

Ah, sebagian besar gadis lain tidak melalui jalan berduri nan pedih yang kamu tapaki empat tahun ini, Fathiya. Kamu lebih hidup dari banyak orang walau singkat usiamu. Terima kasih telah mengajarkan kami untuk memanfaatkan waktu setiap detiknya, seperti yang kamu lakukan. Lebih sulit bagimu pasti, sebab kerap harus berjuang dengan rasa sakit hebat, di antara kondisi ada dan tiada kesadaran, dalam napas yang sering kali tersengal….

Selamat jalan Fathiya. Selamat menjalani traveling menuju negeri teramat indah, di sisi-Nya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement