REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) memberikan catatan kehidupan demokrasi di Indonesia. Direktur Eksekutif LP3ES Fajar Nursahid mengatakan demokrasi indonesia belum terkonsolidasi.
Dia menilai masalah demokrasi Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil yang kritis kepada kekuasaan. "Buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena masivnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu, rendahnya keadaban politik warga," ujar dia, melalui siaran pers kepada Republika.co.id.
Selain itu, demokrasi di Indonesia juga masih dihantui masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini. "Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah merapat dengan kekuasaan," ujarnya.
Jika pun tidak merapat kepada kekuaaan, menurut dia, banyak pihak memilih diam demi menghindari “stigma” berpihak kepada kelompok intoleran yang anti pancasila dan anti demokrasi. Menurutnya, hal ini oleh polarisasi politik yang tajam yang membelah Indonesia menjadi dua kubu.
"Yang membuat setiap suara anti pemerintah segera dikelompokkan ke kubu anti pemerintah. Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang mebutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontol kekuasaan," ujar dia.
LP3ES memberi catatan khusus kepada perguruan tinggi atau kampus. Dia menilai baru kali ini sejak era reformasi di mana kampus begitu berlomba-lomba merapat kepada kekuasaan. Selain itu, LP3ES menilai banyak pemberian gelar doctor honoris causa kepada elit politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyatanya kepada masayarakat lebih karena pertimbangan politik.