Rabu 31 Jul 2019 17:19 WIB

LK2PK: National Health Security di Inggris Juga Defisit

Meski defisit, BPJS Kesehatan dinilai telah banyak membantu masyarakat.

Rep: Nugroho Habibi, Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Ilustrasi pelayanan di kantor BPJS Kesehatan.
Foto: Antara
Ilustrasi pelayanan di kantor BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Kajian dan Konsultasi Pembangunan Kesehatan (LK2PK) menyikapi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang disebut mencapai Rp 28 triliun. LK2PK menyebut permasalahan BPJS Kesehatan tidak seharusnya dibebankan pada pemerintah.

Pendiri LK2PK, Arief Rosyid Hasan menyatakan defisit yang dialami BPJS Kesehatan sebagai produk kebijakan yang disambut baik oleh masyarakat. “Kalau BPJS Kesehatan mengalami defisit, tentu artinya penggunanya banyak kan, terlepas dari berbagai dugaan fraud dan tidak adanya pembayaran iuran,” tutur Arief dalam keterangannya, Rabu (31/7).

Baca Juga

Menurutnya, defisit BPJS Kesehatan bukanlah kebijakan yang hanya untuk kepentingan politik. Meskipun defisit, dia menilai, kebijakan BPJS kesehatan banyak membantu masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan.

Dia membandingkan kebijakan BPJS Kesehatan dengan sistem jaminan kesehatan NHS (National Health Security) milik Kerajaan Inggris. Menurutnya, defisit kebijakan BPJS Kesehatan di Indonesia masih lumrah terjadi dan seharusnya dimaklumi.

“NHS saja mengalami defisit, padahal sistem ini adalah sistem jaminan kesehatan terlama di dunia. Apalagi BPJS Kesehatan yang baru berusia lima tahun,” lanjutnya.

Arif yang juga dokter gigi itu mengajak semua pihak untuk mencari solusi atas defisit yang terjadi pada BPJS Kesehatan. Dia menyatakan, semua pihak baik lintas sektor kementerian, dan para milenial saling mengawal dan membantu mengatasi permasalahan BPJS kesehatan.

“Saya percaya BPJS Kesehatan ini perlu pengawasan dari banyak pihak, utamanya milenial dalam menciptakan good governance dalam memberantas fraud. Semisal bagaimana kita menciptakan start-up atau menggunakan media sosial dalam pengawasan BPJS Kesehatan,” ungkapnya.

Berdasarkan temuan BPS pada 2018, kata dia, dari 100 pemuda yang memiliki BPJS Kesehatan, 67 orang masih atau ditanggung oleh pemerintah. Menurutnya, temuan tersebut membutuhkan penelusuran agar milenial lebih produktif dan tidak membebani negara.

Selain itu, dia menyatakan, BPJS Kesehatan sangat penting dalam membangun bonus demografi. Karenanya, inisiatif dari milenial akan sangat diperlukan dalam menyelesaikan problematika yang dialami oleh BPJS Kesehatan.

“Pelayanan BPJS Kesehatan ini sangat dibutuhkan untuk menyambut bonus demografi ini. Di mana penyakit-penyakit terkait industri 4.0 semakin merebak. Sebut saja penyakit mental dan PTM (penyakit tidak menular). Maka dari itu kita sesama milenial perlu menjaga platform ini,” katanya.

Pemerintah akhirnya setuju untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan keputusan itu diambil pemerintah saat rapat terbatas terkait defisit BPJS Kesehatan di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/7).

"Kemarin ada beberapa hal yang dibahas dan prinsipnya kita setuju. Namun perlu pembahasan lebih lanjut, pertama, kita setuju untuk menaikkan iuran," ujar JK saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (30/7).

Namun, JK mengatakan, pemerintah belum menentukan besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Sebagai informasi, iuran BPJS Kesehatan untuk ruang perawatan kelas III sebesar Rp 25 ribu per orang, Kelas II sebesar Rp 51 ribu, dan kelas I sebesar Rp 80 ribu.

"Tapi berapa naiknya, nanti dibahas oleh tim teknis, nanti akan dilaporkan pada rapat berikutnya," ujar JK.

BPJS Kesehatan memprediksi bakal mengalami defisit anggaran hingga Rp 28 triliun pada akhir 2019. Prediksi tersebut diperoleh berdasarkan total besaran iuran yang diterima perseroan dikurangi dengan biaya pelayanan kesehatan para peserta.

Selain itu, BPJS Kesehatan belum membayar klaim rumah sakit sebesar Rp 9,1 triliun untuk periode 2018. Sementara, pada 2019, defisit BPJS mencapai Rp 19 triliun. Tak hanya itu, utang klaim rumah sakit yang jatuh tempo per tanggal 14 Juli 2019 sebesar Rp 6,5 triliun.

Persoalan defisit BPJS Kesehatan ini adalah kejadian berulang. Pada 2014, saat program ini mulai berjalan, terjadi defisit keuangan sebesar Rp 3,3 triliun. Pada 2015, defisit melonjak menjadi Rp 5,7 triliun, lalu Rp 9,7 triliun pada 2016 dan Rp 9,75 triliun pada 2017.

Pemerintah terus menyuntikkan dana untuk menalangi defisit tersebut. Pada 2015, pemerintah menyuntik BPJS Kesehatan sebesar Rp 5 triliun, kemudian Rp 6,9 triliun pada 2016. Pada 2017, suntikan dananya sebesar Rp 3,7 triliun.

Pada akhir tahun lalu, BPJS Kesehatan mengungkap defisit senilai Rp 16,5 triliun. Pemerintah kemudian menerapkan kebijakan pencairan dana cadangan program JKN sebesar Rp 4,993 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement