REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG -- Pencemaran minyak mentah (spill oil) akibat aktivitas pengeboran Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ, mulai berdampak ke sektor tambak garam. Saat ini, tercatat ada 100 hektare tambak garam yang dikhawatirkan tercemar ceceran minyak mentah tersebut. Akibatnya, petambak tak bisa memanen garam.
Ketua Koperasi Garam Segara Jaya Kabupaten Karawang, Aep Suhardi, mengatakan, sudah sepekan terakhir petambak garam tidak bisa produksi. Sebab, petambak menyetop aliran air dari laut ke areal tambak. Mengingat, saat ini air laut telah tercemar oleh ceceran minyak mentah.
"Selama sepekan terakhir ini, kita tidak ada aktivitas produksi garam. Karena, petambak takut air laut ini bisa meracuni garam yang sedang diolah petambak," ujar Aep, kepada Republika.co.id, Senin (28/7).
Adapun areal tambak garam yang turut tercemar limbah minyak, luasnya mencapai 100 hektare. Tersebar, di dua kecamatan, yaitu Tempuran dan Cilamaya Kulon. Kalau, areal tambak lainnya, masih cenderung aman. Karena, air lautnya tidak tercemar limbah minyak tersebut.
Menurut Aep, dengan berhentinya produksi garam ini, berdampak pada hasil produksi. Pasalnya, rata-rata per hari petambak bisa panen garam sebanyak 60 sampai 100 ton, saat ini nihil. Dengan begitu, petambak garam menanggung rugi akibat berhenti produksi ini. "Jelas rugi. Karena, usaha kami jadi terganggu," ujarnya.
Sementara itu, Khairul Anam (43 tahun) petambak garam asal Desa Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran, mengatakan, dengan adanya kasus kebocoran minyak mentah ini, imbasnya jadi kemana-mana. Termasuk, ke petambak garam. "Kita tak bisa mengalirkan air dari laut, karena takut airnya beracun. Makanya, selama sepekan terakhir ini kita off produksi," ujarnya.
Adapun kerugiannya, lanjut Khairul, bisa dihitung sendiri. Dalam sehektare tambak, bisa menghasilkan 60 hingga 100 ton per harinya. Adapun, harga garam saat ini mencapai Rp 700 per kilogramnya. Berarti, petambak mengalami kerugian puluhan juta akibat pencemaran laut tersebut.