Senin 29 Jul 2019 14:48 WIB

Jakarta akan Perbaiki Kualitas Udara dengan 14 Aksi

Upaya perbaikan kualitas udara Jakarta tertuang dalam kegiatan strategis daerah.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Nur Aini
Seorang pengendara sepeda motor melintasi alat pengukur kualitas udara di Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Seorang pengendara sepeda motor melintasi alat pengukur kualitas udara di Jakarta, Selasa (9/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menerapkan 14 rencana aksi untuk memperbaiki kualitas udara ibu kota yang buruk. Kualitas udara Ibu Kota kembali menjadi terburuk di dunia menurut data yang dilaporkan AirVisual pada Senin (29/7) pukul 08.00 WIB. AirVisual mencatat kualitas udara DKI Jakarta yakni 196 dengan parameter PM 2,5 konsentrasi 143,2 ug/m3 berdasarkan Air Quality Index (AQI) Amerika Serikat (AS).

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta Andono Warih mengaku Pemerintah Provinsi (Pemprov) tengah berupaya memperbaiki kualitas udara. Hal itu tertuang dalam kegiatan strategis daerah (KSD) yakni pengendalian pencemaran udara.

Baca Juga

"Menyusun roadmap Jakarta Cleaner Air 2030 tentang pengendalian pencemaran udara dengan 14 rencana aksi," ujar Andono dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Senin (29/7).

Ia memaparkan, 14 rencana aksi itu antara lain monitoring kualitas udara, pengembangan transportasi umum ramah lingkugan, dan penerapan uji emisi kendaraan bermotor. Kemudian ada pula pengendalian kualitas udara kegiatan industri dan penyedian bahan bakar ramah lingkungan.

Menurut Andono, salah satu rencana aksi yang sudah berjalan yakni pembangunan transportasi massal. Pembangunan transportasi angkutan umum yang dimaksud ialah Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta dan Lintas Rel Terpadu (LRT) Jakarta.

Ia melanjutkan, aksi yang segera akan dieksekusi yaitu pengadaan bus Transjakarta berbahan bakar listrik. Lalu penerapan uji emisi sebagai syarat parkir kendaraan bermotor, serta operasi lintas jaya terhadap kendaraan umum yang emisinya melampaui ambang batas.

Andono juga meminta masyarakat dapat turut serta berperan memperbaiki kualitas udara. Warga dapat menggunakan transportasi umum, menggiatkan berjalan kaki, dan bersepeda.

Kualitas udara Jakarta terburuk di dunia bertahan hingga data yang dirilis AirVisual per pukul 13.00 WIB dengan nilai AQI sebesar 176. Dengan demikian, kualitas udara Jakarta masih berada di level tidak sehat atau unhealthy.

AQI menjadi indeks yang menggambarkan tingkat keparahan kualitas udara di suatu wilayah. AirVisual menggunakan AQI AS yang dihitung berdasarkan enam jenis polutan utama yakni PM 2,5, PM 10, karbon monoksida, asam belerang, nitrogen dioksida, dan ozon permukaan tanah.

Sementara itu, pengamat lingkungan dari Universitas Indonesia Tarsoen Waryono mengatakan, menurunnya kualitas udara Jakarta disebabkan karena saat ini tengah musim kemarau. Ditambah lagi dengan polutan yang berasal dari jutaan kendaraan bermotor yang bergerak di Ibu Kota.

"Musim kemarau, panas, temperatur tinggi, temperatur itu bisa mencapai 34 derajat celcius, sehingga polusi udara itu semakin meningkat," tutur Tarsoen.

Ia menjelaskan, berbagai polutan seperti gas karbon monoksida (CO), gas karbon dioksida (CO2), gas belerang (SO, SO2, SO3), gas kloro fluoro karbon (CFC), hidrokarbon (HC), dan nitrogen oksida (NO) meningkat saat kemarau. Terlebih lagi unsur-unsur kimia dari hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor berkumpul jadi satu.

Kemudian, polutan-polutan udara tak terserap ke tanah melainkan terbang di udara dan bisa terhirup manusia. Ia mengatakan, biasanya kemarau yang berdampak pada penurunan kualitas udara terjadi pada Juni, Juli, dan Agustus. 

Sehingga, kata Tarsoen, Pemprov DKI sebetulnya bisa mengantisipasi terjadinya penurunan kualitas udara. Salah satunya dengan menggiatkan gerakan menanam tumbuh-tumbuhan yang mampu menyerap karbon dioksida.

Namun, kata dia, tak sembarang tanaman yang bisa ditanam di Ibu Kota. Tanaman itu harus memiliki stomata yang besar agar dapat menjerat karbon dioksida secara tinggi.

Tarsoen menyebut, tumbuh-tumbuhan itu diantaranya Mahoni, Nyamplung, ataupun Kenari yang lebih baik ditanam di Ibu Kota dibandingkan jenis Akasia. Jenis pohon Angsana juga baik tetapi daunnya mudah berguguran sehingga cepat mengotori jalan.

Selain itu, ia meminta Pemprov DKI segera memenuhi kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan taman di atap gedung (rooftop garden). Sebab, kata Tarsoen, pemenuhan RTH di Ibu Kota baru ada sekitar 13 persen. Padahal, aturan RTH di perkotaan harus mencapai 30 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement