Sabtu 27 Jul 2019 08:57 WIB

Tangkuban Perahu dalam Catatan Penyair Belanda

Kisah Tangkuban Perahu ada dalam catatan penyair Belanda

Suasana tempat wisata Tangkuban Perahu, Jawa Barat.
Foto: Republika/Darmawan
Suasana tempat wisata Tangkuban Perahu, Jawa Barat.

Oleh: Tegus Setiawan, Jurnalis Senior.

"Aku masih sangat ingat, karena peristiwa baru terjadi kemarin. Dari dinding kawah saya melihat ke bawah, ke Kawah Oepas dan Kawah Ratu. Seorang bocah pribumi tanpa alas kaki membimbing saya turun. Sejenak aku melihat ke atas, aku merasa tenggelam di dalam kawah!"

Beberapa kalimat di atas adalah sebagian dari tulisan Louis Couperus, penyair dan tokoh paling terkemuka dalam sastra Belanda, tentang kunjungannya ke Tangkoeban Prahoe tahun 1921.

Situs javapost. nl menulis Couperus berpikir seperti masuk ke dalam neraka, tapi senyum bocah pribumi itu menggodanya untuk terus melangkah sampai jauh ke dasar kawah.

Kereta api melintas di atas jembatan dengan Tangkoeban Prahoe di belakangnya


Tiga tahun kemudian, tepatanya 29 Juni 1924, tiga pelajar Hogere Burgerschool (HBS) Bandung melakukan hal serupa tapi tanpa dipandu bocah-bocah pribumi. Pers lokal melaporkan ketiganya hilang. Keesokan hari, ratusan polisi dan tentara melakukan pencarian besar-besaran.

Ketiga siswa HBS Bandung itu adalah dua bersaudara Dirk and Jan Anthonie Hendrik van Deelen dan teman mereka; Henry Peter Maasdam. Akhir pekan ketiganya, bersuaia antara 16 dan 17 tahun, ditemukan telah menjadi mayat.

Wisatawan Belanda dari Bandung di Tangkoeban Prahoe 
Ir Taverne, vulkanologis dan pemimpin pencarian, mengatakan ketiganya tewas akibat menghirup konsentrasi tinggi hidrogen sulfida. Di tempat mayat dua bersaudara itu ditemukan didirikan monumen peringatan.


Surat kabar Nieuws van den Dag voor Nederlands-Indië bertanya kepada pembacanya apakah monumen itu pantas didirikan. Mengapa harus sekarang didirikan monumen peringatan. Lagi pula, bukankah kemtian akibat menghiburp gas beracun adalah biasa si gunung berapi.

 


Tangkoeban Prahoe secara simultan membunuh anak-anak muda yang turun ke dalam kawah, dan kesulitan naik saat mulai sesak nafas. Jadi, yang terpenting adalah bukan membuat tugu peringatan atas kematian ketiganya tapi jalan yang memudahkan pengunjung naik dari kawah ke dinding tebing.

        Wisatawan Belanda menikmati keindahan Kawah Ratu.


Pariwisata Tangkoeban Prahoe berpotensi dikembangkan sebagai kawasan wisata. Syaratnya, akses alan dari Lembang ke lokasi harus diperbaiki. Wisatawan tidak perlu lagi melewati jalan sempit dengan berkuda.


WH Hoogland, insinyur dan mantan penduduk Bandung, mengambil inisiatif. Ia mencari kemungkinan mendapatkan pinjaman untuk membiayai proyek mengembangkan Tangkoeban Prahoe sebagai kawasan wisata.


Ia memulainya dengan mendirikan Bandoeng Vooruit, yang bernggotakan perwakilan bisnis lokal dan pemerintah distrik. Ia melakukan berbagai kajian tentang kemungkinan pembangunan jalan dari dan ke Tangkoeban Prahoe.

Opsi paling logisnya adalah membuka 'lorong' dari Tjiaterpass di Wates, tapi rencana ini ditentang pihak militer. Alternatifnya adalah mengembangkan jalan yang telah ada, dari Lembang ke Goenoeng Poetri.

Entah apa yang terjadi, militer tiba-tiba berubah sikap. Militer menyetujui pembangunan jalan dari Wates ke Tangkoeban Prahoe, dan tahun 1926 jalan sepanjang empat kilometer itu dibangun.

Pada 8 September 1928, disaksikan sejumlah petinggi Hindia-Belanda, dilakukan tes jalan yang dibeni nama Hooglandweg. Tropisch Nederland melaporkan peristiwa itu dengan menarik.


"Ini adalah pemandangan aneh. Mobil berderet di sepanjang dinding kawah. Setelah uji coba selesai, pejabat makan siang di Hotel Homann Bandung," tulis Tropisch Nederland.


Sejak itu, mencapai Tangkoeban Prahoe dengan mobil menjadi sangat mungkin. Tidak hanya itu, wisatawan -- kebanyakan orang-orang Belanda -- hanya perlu satu jam berkendara dari Bandung ke gunung berapi setinggi 1.850 meter di atas permukaan laut.

Peresmian jalan pertama dari Tjiaterpass ke Tangkoeban Prahoe tahun 1928


Kendati orang harus membayar mahal untuk melintasi jalan itu, tapi pemukim Belanda di Bandung berbondong-bondong berwisata ke Tangkoeban Prahoe setiap pekan. Proyek ini terbilang sukses secara finansial.


Bersamaan dengan itu, bisnis lain bermunculan di dinding kawah. Ada restoran, penjualan cindera mata, dan lainnya. Bandoeng Vooruit membangun kawasan trekking, dengan tanda-tanda bahaya di sekujurnya. Semengatnya adalah tidak boleh ada lagi korban tewas akibat gas beracun.


Tahun 1932, Bandoeng Vooruit menerbitkan peta hiking yang dijual dengan harga 40 sen. Nieuws van den Dag voor Nederlands-Indië menulis; "Anda mungkin masih ingat beberapa tahun lalu tiga anak muda tewas di Tangkoeban Prahoe karena menghirup gas beracun. Kini, Bandoeng Vooruit membangun monumen sederhana untuk menghindari jatuh korban lagi."


Couperus bukan orang pertama yang terkesan dengan Tangkoeban Prahoe. Pada abad ke-19, fisikawan Jerman Friedrich Junghuhn pindah dari Lembang ke kaki gunung Tangkoeban Prahoe karena terkesan dengan keindahannya.

       Wisatawan zaman Hindia Belanda yang piknik ke Tangkuban Perahu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement