Rabu 24 Jul 2019 07:59 WIB

Investasi Dana Haji

Di jenis investasi apa saja dana haji bisa dikelola?

Instrumen penempatan dana jamaah haji Indonesia
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Instrumen penempatan dana jamaah haji Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Beny Witjaksono, Anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Bidang Investasi

Pada 18 Juli lalu BPKH merayakan hari ulang tahun (milad) yang kedua. Alhamdulillah, dari sisi pencapaian nilai manfaat pada 2018, BPKH berhasil mencapai Rp 5,70 triliun atau tumbuh 7,19 persen dari nilai manfaat tahun 2017 yang sebesar Rp 5,28 triliun.

Tidak hanya sampai di situ, alhamdulillah BPKH juga mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk laporan keuangan tahun 2018.

Sesungguhnya yang tebersit dalam hati kecil penulis, adalah mengapa mengemban tugas mengelola keuangan haji ini begitu penting? Dengan karyawan/karyawati 137 orang, BPKH mengelola dana Rp 113 triliun (per posisi bulan Juni 2019) milik jamaah haji.

Sebuah beban disematkan di atas pundak BPKH ketika mendapatkan amanah mengelola keuangan haji disebabkan dana ini merupakan dana umat yang dipercayakan kepada kami untuk dapat memberangkatkan mereka ke Tanah Suci.

Dana ini bagi sebagian besar masyarakat, dikumpulkan sedikit demi sedikit dari sisa pendapatan yang tidak seberapa untuk berhaji. Dengan waktu tunggu jamaah haji berkisar 11-39 tahun, tentu kepercayaan dari jamaah tak boleh dianggap hal biasa.

Perlindungan terhadap uang jamaah haji, diatur UU Nomor 34 Tahun 2014 Pasal 53 ayat 1 yang menyebutkan ketentuan mengenai tanggung-renteng atas kerugian akibat penempatan dan/atau investasi keuangan haji yang timbul akibat kelalaian dalam pengelolaannya.

Tantangan yang BPKH hadapi saat ini adalah persepsi masyarakat bahwa dana yang dibayarkan selama ini, yaitu Rp 25 juta setoran awal ditambah Rp 10 juta pelunasan atau total sebesar Rp 35 juta merupakan ongkos yang sudah dibayarkan penuh oleh jamaah haji.

Kenyataannya, ongkos riil atau yang disebut biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) ternyata jauh melampaui angka itu. Untuk ibadah haji tahun 2018/2019 biaya haji riil untuk direct cost atau biaya yang dibayarkan langsung oleh jamaah haji adalah sebesar Rp 35.235.602 Sedangkan indirect cost atau biaya yang bukan merupakan tanggungan jamaah haji Rp 34.764.454 sehingga totalnya menjadi Rp70.000.050.

Jumlah indirect cost selalu naik dari waktu ke waktu dan kini telah hampir menyamai jumlah direct cost. Ini tantangan bagi BPKH untuk memastikan ongkos itu dapat dipenuhi melalui pencapaian nilai manfaat yang kami peroleh dari berbagai instrumen investasi.

Solusi untuk mengatasi kenaikan BPIH adalah mengelola setoran awal jamaah haji dengan cara yang tepat. Salah satunya, berinvestasi ke berbagai instrumen investasi yang sesuai UU Nomor 34 Tahun 2014 Pasal 2, yaitu ke instrumen syariah.

Investasi dana haji dalam instrumen yang tepat dapat menghasilkan hasil pengembalian yang tinggi dan menciptakan mekanisme untuk melindungi potensi kerugian, dengan membuat portofolio yang terdiri atas instrumen yang saling terkait karena rendahnya korelasi antarinstrumen. Jika risiko dapat dikelola, memberikan probabilitas yang cukup untuk mencapai tingkat pengembalian yang diperlukan.

Berdasarkan PP Nomor 5 Tahun 2108 proporsi investasi dan penempatan dana oleh BPKH, pertama, tiga tahun sejak Badan Pengelola Dana Haji dibentuk, dana dalam bentuk produk bank (giro, tabungan, dan deposito) paling banyak 50 persen dari total penempatan dana haji.

Setelah tiga tahun, maksimum penempatan bank dikurangi menjadi 30 persen dari total penempatan dana haji. Kedua, maksimum 20 persen dari total penempatan/investasi dana haji dieksekusi ke dalam investasi langsung, termasuk kepemilikan bisnis, partisipasi modal, kerja sama investasi, dan investasi langsung lainnya.

Ketiga, maksimum lima persen dari total penempatan/investasi keuangan haji ditempatkan dalam bentuk emas, baik emas batangan bersertifikat dalam negeri maupun rekening emas yang dikelola lembaga keuangan syariah yang diatur dan diawasi OJK.

Keempat, investasi dalam sekuritas meliputi sukuk yang diterbitkan pemerintah pusat dan/atau Bank Indonesia, saham syariah yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, reksadana syariah, sekuritas yang didukung aset syariah, dana investasi real estate syariah dan sekuritas syariah lainnya.

Kelima, investasi lain yang tidak termasuk dalam kategori di atas dengan nilai maksimum 10 persen dari total penempatan finansial/investasi haji. Tantangan lain yang kami hadapi adalah jumlah instrumen syariah yang kini sangat terbatas.

Apabila menilik data OJK, total aset keuangan syariah di Indonesia pada 2018 sebesar Rp 1.265,97 triliun atau setara dengan 8,58 persen aset keuangan Indonesia (Okezone, 13 Desember 2018).

Dengan porsi yang masih relatif kecil, tidak mengherankan bila jumlah instrumennya tidak terlalu banyak dan likuiditas pasarnya juga rendah. Dengan demikian, sudah menjadi tanggung jawab BPKH sebagai lembaga pengelola keuangan syariah terbesar di negara ini, lebih berperan dalam mengembangkan pasar keuangan syariah demi pengelolaan keuangan haji yang lebih baik.

Dalam hal ini, BPKH juga memikirkan solusinya, antara lain, dengan mendorong dibentuknya sebuah acuan untuk pricing di pasar obligasi syariah, yaitu yield curve obligasi syariah. Hal lainnya, membuat benchmark dalam berinvestasi syariah, yaitu dengan membuat indeks dana kelolaan haji atau yang BPKH sebut dengan model investasi syariah BPKH (MISBAH).

Keberadaan yield curve milik negara ataupun korporasi dan indeks benchmark MISBAH, kami harapkan dapat mendorong pelaku pasar tidak ragu dalam berinvestasi di instrumen-instrumen investasi syariah.

Sebab ke depan, pasar keuangan syariah akan memiliki acuan, baik dalam menentukan fair price ketika bertransaksi maupun dalam menentukan acuan kinerja portofolio syariah yang dikelola. Selain dengan lebih berperan aktif dalam memberikan acuan harga dan acuan penilaian kinerja portofolio syariah bagi pelaku pasar, BPKH juga mendorong otoritas terkait memberikan insentif pajak bagi industri keuangan syariah.

Isu terakhir yang BPKH hadapi adalah besarnya tuntutan dalam meningkatkan kualitas pelayanan ibadah haji sehingga BPKH juga dituntut dapat melakukan investasi langsung. Rencananya, yang terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan ibadah haji. Misalnya, hotel yang akan ditinggali jamaah, bus untuk transportasi jamaah, dan makanan/katering untuk memastikan jamaah haji tidak mengalami kekurangan selama mereka beribadah di Tanah Suci.

Tantangan tersebut ternyata tidak mudah karena BPKH menghadapi kenyataan ketidakpastian hukum dalam berinvestasi. Di sisi lain, BPKH memiliki tanggung jawab untuk memastikan tidak ada missed sedikit pun dalam mengambil keputusan investasi.

Hasil studi BPKH menunjukkan, pasar perhotelan di Kota Makkah kini telah berada dalam titik jenuh, di mana kini operator internasional sudah memasuki pasar perhotelan di sana.

Peluang yang BPKH lihat ada saat ini untuk bisa dijajaki justru ada di kota ketika Nabi Muhammad SAW dulu mengembangkan dakwahnya, yaitu di Kota Madinah, tempat persaingan perhotelan di sana belum seketat di Makkah. Namun, setiap keputusan investasi tersebut tetap akan BPKH lakukan setelah melakukan studi yang saksama. Segala niat dan ikhtiar saat ini tentunya hanya akan terlaksana dengan izin Allah SWT.

Hal yang BPKH rindukan saat ini adalah doa dari seluruh calon dan jamaah haji Indonesia agar BPKH dapat melaksanakan tanggung jawab sebagai pengelola dana haji sehingga apa yang dikerjakan dapat bernilai ibadah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement