Rabu 24 Jul 2019 01:25 WIB

Inovasi Cuka Kayu Diharapkan Meminimalisasi Asap Karhutla

Inovasi cuka kayu juga memiliki nilai ekonomis yang bisa dimanfaatkan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Pemadaman Karhutla Riau: Sejumlah personel pemadam kebakaran dari PT Sumatera Riang Lestari melakukan proses pemadaman kebakaran hutan yang berbatasan dengan konsesi perusahaan di Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis, Riau, Rabu (27/2/2019).
Foto: Antara/FB Anggoro
Pemadaman Karhutla Riau: Sejumlah personel pemadam kebakaran dari PT Sumatera Riang Lestari melakukan proses pemadaman kebakaran hutan yang berbatasan dengan konsesi perusahaan di Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis, Riau, Rabu (27/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masalah utama kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia terjadi akibat adanya pembakaran lahan oleh oknum masyarakat maupun korporasi. Untuk meminimalisasi asap itu, pemerintah menawarkan inovasi cuka kayu saat melakukan pembakaran kayu hasil pembukaan lahan dengan dibakar di tungku kepada masyarakat.

Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Raffles Panjaitan mengatakan, tidak mungkin masyarakat hanya mau dilarang untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar tanpa diberikan solusi. Untuk itu, kata dia, pemerintah gencar mensosialisasikan pembakaran kayu pembukaan lahan dengan dibakar di tungku.

Baca Juga

“Teknologi tungku ini sederhana dan murah, kita sedang tawarkan masyarakat untuk mau pakai ini,” kata Raffles saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (23/7).

Adapun cuka kayu yang dimaksud adalah cuka yang dihasilkan dari proses pembakaran kayu di tungku yang didesain oleh Tim Manggala Agni KLHK. Pembuatan tungku tersebut pun diklaim sangat terjangkau, yakni Rp 1,5 juta-Rp 3 juta per unitnya. Menurut Raffles, masyarakat bahkan dapat mendapatkan akses bantuan pembiayaan dari dana desa maupun dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan sekitar kawasannya.

Tak hanya mudah didapatkan, kata dia, cuka kayu nantinya juga diklaim dapat menghasilkan nilai ekonomis. Sebab, cuka kayu yang dihasilkan dari tungku-tungku tersebut diklaim mampu difungsikan sebagai pupuk organik dan juga pupuk kompos. Kualitas pupuk tersebut pun, menurutnya, cukup kompetitif dibandingkan dengan pupuk kimia dan urea pada umumnya.

“Ada salah satu wilayah Daop Manggala Agni kita yang coba tanam jagung di lahan 5.000 meter dengan cuka kayu itu. Itu jagungnya tumbuh, bahkan lebih bagus hasilnya jika dibandingkan dengan pupuk kimia,” kata Raffles.

Saat ini, meski teknologi tungku dan cuka kayu belum direalisasikan secara nasional, pihaknya secara intens telah melakukan koordinasi pengembangannya dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sehingga apabila telah siap, kata dia, diharapkan sosialisasi kepada masyarakat dapat berhasil dan dapat mengurangi volume asap karhutla.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement