Rabu 24 Jul 2019 00:35 WIB

Daya Beli Rendah Pengaruhi Penggunaan Plastik Kemasan

Sampah plastik di Indonesia mencapai63 juta ton per tahun, 3,2 juta dibuang ke laut.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Warga menggunakan perahu untuk memilah sampah plastik di aliran Sungai Citarum, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (26/6/2019).
Foto: Antara/Novrian Arbi
Warga menggunakan perahu untuk memilah sampah plastik di aliran Sungai Citarum, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (26/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurangan sampah di Indonesia yang masih rendah yakni 32 persen membuat kontribusi sampah plastik menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA). Sedangkan menurut pemerintah, kontribusi sampah plastik salah satunya dipengaruhi daya beli masyarakat Indonesia yang masih rendah.

Direktur Jenderal Pengolahan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Vivien Ratnawati mengatakan, daya beli masyarakat Indonesia yang rendah mempengaruhi jumlah kontribusi sampah plastik di TPA. Dia menyebut, jumlah sampah plastik yang ditemui di TPA merupakan yang paling dominan.

Baca Juga

“Dari kemasan mie instan saja, kontribusinya ke TPA bisa miliaran ton sampah setahun,” kata Vivien kepada Republika.co.id, Selasa (23/7).

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 63 juta ton per tahun di mana sebanyak 3,2 jutannya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Sedangkan mengacu riset yang dilakukan Jenna R Jambeck dari University of Georgia, Indonesia menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tak terkelola dengan baik.

Vivien mengatakan, persoalan lain dari sampah plastik kemasan adalah masih adanya pendekatan pemasaran produsen yang menyesuaikan dengan daya beli konsumen. Misalnya, setiap suatu produk kemasan masih banyak yang diciptakan dengan desain kemasan yang minimalis. Baik itu mi instan, shampo, hingga produk-produk kesehatan.

Untuk itu, guna mengurangi penggunaan plastik kemasan itu, pihaknya secara intens terus melakukan pendekatan dan sosialisasi ke para produsen untuk mau mendesain ulang (redesign) produk-produk mereka. Meski, dia mengakui, belum ada aturan baku yang dapat mengintervensi lebih jauh dalam realisasinya.

“Kalau di negara maju, produk kemasan mereka tidak ada yang besar-besar. Maka redesign produk itu yang coba kita dorong,” kata Vivien.

Di sisi lain, Vivien mendorong pengurangan sampah di sejumlah daerah dengan mengkoneksikan sampah yang dapat didaur ulang agar menghasilkan pendapatan ekonomi bagi daerahnya. Dia mencontohkan, di Sentul, terdapat suatu kawasan yang melakukan circular economy secara baik sehingga pengurangan sampah di kawasan tersebut ke TPA cukup signifikan.

“Biasanya sehari mereka buang sampahnya itu 14 truk, sekarang hanya 1 truk saja. Artinya circular economy memang bergerak,” kata dia.

Untuk itu, dia sepakat dengan sejumlah pemerintah daerah (pemda) yang mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan plastik kemasan. Menurut dia, realisasi perda tersebut berkontribusi nyata terhadap pengurangan plastik secara nasiona. Secara nasional usai direalisasikannya perda tersebut, jumlah sampah plastik di Indonesia berkurang sebesar 1 persen atau setara dengan 630 ribu ton sampah.

Wakil Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) Justin Wiganda mengatakan, akan sangat mustahil penggunaan kantong plastik dilarang di seluruh daerah. Sebab, kata dia, dalam 12 menit setiap orang di dunia menggunakan kantong plastik.

Menurut dia, hanya 1 dari 200 lembar kantong plastik yang didaur ulang di dunia, sisanya justru menumpuk di TPA dan lingkungan. Untuk itu dia menggarisbawahi, pengelolaan sampah menjadi hal yang perlu digenjot pemerintah ketimbang harus menerpakan kebijakan pelarangan plastik.

“Masalah yang timbul dari (plastik) ini kan karena kegagalan kita dalam mengelolaa sampah, jadi masih poor waste management,” kata Justin.

Menurut dia, kebijakan pelarangan terhadap kantong plastik sekali pakai dapat menimbulkan dampak yang signifikan. Di Amerika Serikat, Justin mencontohkan, pengurangan plastik tipis terjadi hingga 40 persen. Namun yang terjadi, justru terdapat peningkatan penjualan kantong plastik bekas hingga 28 persen. Di sisi lain, pelarangan kantong plastik juga dapat menurunkan pendapatan subsektor daur ulang seperti pengepul sampah, penggiling, pedagang, hingga pemulung.  

Terkait hal itu, Direktur Pengolahan Sampah Direktorat PSLB3 Novrizal Tahar menegaskan pelarangan kantong plastik sekali pakai bukanlah bentuk diskriminasi. Menurut dia, pelarangan penggunaan kantong plastik di sejumlah daerah merupakan respons masyarakat yang positif terhadap lingkungan.

“Ya kan diawali dengan kantong plastik dulu, karena plastik ini ada substitusinya. Masyarakat bisa bawa kantong belanja, sedangkan yang plastik kemasan kan substitusinya belum banyak,” kata dia.

Dia menambahkan, hingga 2025 diharapkan pengolahan sampah di TPA dapat mengarah ke arah yang lebih baik. Salah satu hal yang terus diupayakan, kata dia, adalah mengajak produsen produk kemasan untuk mau secara kooperatif melakukan redesign produk.

“Misalnya pada air kemasan itu, label tutup pastik yang tadinya ada, sekarang sudah mulai tidak pakai plastik lagi. Nah ini kita harapkan di semua produk lain bisa diterapkan juga, jadi pengurangannya bisa masif,” kata Novrizal.

Meski belum diikat dengan aturan baku yang ditetapkan, menurut dia KLHK sudah berupaya mengarahkan produsen pada langkah redesign secara masif. Hal itu, kata dia, sesuai dengan target pemerintah pada 2025 tentang pengurangan sampah di TPA. Diharapkan, pada 2025 di TPA hanya tersisa sampah-sampah yang bukan organik atau yang sama sekali tidak bisa didaur ulang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement