Kamis 25 Jul 2019 04:00 WIB

Catatan Soal Wacana Umrah Digital

Polemik umrah digital mirip dengan awal munculnya ojek online

Hasanul Rizqa
Foto: dok. Republika
Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Hasanul Rizqa*

Pada awal Juli ini, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan pemerintah Arab Saudi di Riyadh. MoU itu untuk menyasar pengembangan start-up aplikasi umrah digital, yang akan digarap bersama antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi. Dalam kesempatan itu, Menkominfo menggandeng perwakilan dua perusahaan e-commerce raksasa asal Tanah Air, Traveloka dan Tokopedia.

Dalam siaran pers dari laman resmi Kemenkominfo, 5 Juli 2019, ditegaskan bahwa start-up umrah digital Indonesia-Arab Saudi tak akan mengganggu pasar biro perjalanan umrah konvensional (offline). Bagaimanapun, ada beragam respons terhadap Menkominfo. Pada Kamis (19/7), misalnya, Syarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) telah melayangkan surat keberatan kepada Menkominfo. Ketua Umum Sapuhi Syam Resfiadi menegaskan, pihaknya menolak bila Traveloka dan Tokopedia dilibatkan dalam bisnis perjalanan umrah.

Demikian halnya dengan Permusyawaratan Antarsyarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI). Ketua PATUHI Artha Hanif mengingatkan tentang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU). Beleid tersebut menekankan fungsi pihak penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU).

PPIU mesti mengantongi izin resmi dari Kementerian Agama (Kemenag). PPIU pun harus dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Jika ada pihak yang tanpa hak bertindak layaknya PPIU, semisal mengumpulkan atau memberangkatkan jamaah umrah, maka pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama enam tahun.

Bahwa Menkominfo menggaet perusahaan e-commerce alih-alih Kemenag, memang bisa menimbulkan pertanyaan. Bukankah kewenangan terkait umrah dan haji ada di Kemenag? Pada medio Juli, Kemenag melalui Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus sempat menyatakan belum mengetahui secara detail isi MoU tersebut (Ihram.co.id, 14 Juli 2019).

Bagaimanapun, sejak Jumat (19/7) lalu sudah ada klarifikasi dari Kemenag, yang mengundang Kemenkominfo dan dua perusahaan e-commerce duduk bersama mengenai isu umrah digital.

Ada beberapa poin penegasan dari pertemuan tersebut. Pertama, semua pihak mematuhi UU PIHU. Dengan demikian, tertutup kemungkinan bagi perusahaan e-commerce untuk memberangkatkan jamaah ke Tanah Suci. Yang bisa melakukan hal itu hanya PPIU yang berizin resmi.

Kedua, pengembangan umrah digital bersifat opsional. Konsumen dibayangkan nantinya bebas memilih, apakah berangkat ke Tanah Suci melalui PPIU secara offline atau online, yakni memilih paket perjalanan yang ditawarkan melalui marketplace. Akan tetapi, poin pertama tidak berubah. Traveloka, Tokopedia, dan lain sebagainya tidak akan menjadi penyelenggara umrah.

“Karenanya, PPIU juga dituntut untuk terus berinovasi memanfaatkan teknologi informasi," pesan Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag, Arfi Hatim, dikutip Ihram.co.id Ahad (21/7).

Sebenarnya, bukan tidak ada upaya-upaya inovasi demikian dari PPIU.

PATUHI, misalnya, dalam menanggapi wacana umrah digital menyebut akan membuat platform digital untuk memudahkan konsumen. Organisasi yang membawahi sekitar seribu PPIU itu menyadari pentingnya bertahan hidup di tengah era disrupsi.

Ya, teknologi bukan untuk dimusuhi, melainkan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama—menjadi sharing economy. Hanya saja, Artha Hanif menggarisbawahi, leading sector­ terkait umrah tetap pada Kemenag. “Jadi bagaimana ke depan kita menyiapkan platform digital di mana leading sector-nya akan dipimpin oleh Kementerian Agama. Ini akan kita seriuskan setelah haji ini,” kata dia, dikutip Ihram.co.id, Selasa (16/7).

Saya membayangkan wacana umrah digital ini menyerupai fenomena ojek online ketika pertama kali hadir di tengah masyarakat Tanah Air. Saat itu, ada yang menyambutnya gegap-gempita. Ada pula yang khawatir atau bahkan gusar.

Konsumen dari kelas menengah ke atas cenderung senang. Berbeda halnya dengan para tukang ojek pangkalan (opang). Mereka merasa disalip. Di lapangan, tidak sedikit kasus bentrok antara opang dan ojek online (ojol). Batas-batas wilayah “titik penjemputan” pun bermunculan.

Sebenarnya, bentrok di lapangan mungkin tidak terjadi kalau perusahaan-perusahaan onlinepeka budaya. Dalam arti, mereka menyapa terlebih dahulu para tukang ojek pangkalan sebelum memasarkan inovasi aplikasi buatannya, yang mempertemukan antara ojek dan konsumen. Dengan adanya aplikasi online, siapapun cenderung bisa menjadi tukang ojek, termasuk yang tadinya belum pernah menjalani profesi demikian. Karena itu, wajar bila para opang merasa ceruk pasarnya terusik.

Soal “opang vs ojol” kini bisa dikatakan sudah lampau. Kini, pewacanaan umrah digital sebaiknya mengambil pelajaran dari fenomena tersebut.

Ketika PPIU konvensional bisa berinovasi, yakni membuat platform digital sendiri, maka sudah sepantasnya hal ini menuai dukungan antara lain dari pemerintah. Dengan inovasi itu, segenap PPIU dapat tampil percaya diri di tengah gempuran disrupsi. PATUHI sudah menyuarakan inovasi demikian, meskipun sampai kini kita masih menanti realisasinya.

Bila rencana pembuatan aplikasi online itu terwujud, para PPIU tak perlu merasa khawatir pasarnya akan terganggu perusahaan-perusahaan unicorn. Sebab, boleh jadi jamaah tetap mempercayakan perjalanan ibadahnya ke Tanah Suci melalui mereka—bukan entitas-entitas yang tak begitu jelas dimiliki oleh siapa (baca: Muslim/non-Muslim).

Kembali ke hasil pertemuan Kemenag dengan pihak-pihak terkait umrah digital. Menurut Arfi, rapat pada Jumat lalu juga menyepakati pembentukan gugus tugas (task force).

Task force itu diharapkan mampu merespons disrupsi dan inovasi secara tepat. Sesuai ranahnya, Kemenkominfo berwenang mengatur unicorn, sedangkan Kemenag mengatur penyelenggaraan umrah.

Hingga tulisan ini dibuat, komposisi task force itu belum terungkap secara detail. Akan tetapi, ada harapan tersirat darinya. Task force demikian menjadi ajang untuk saling bersinergi, bukan saling meniadakan.

*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement