REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat pleno pembahasan amnesti untuk terpidana UU ITE Baiq Nuril telah digelar Komisi III DPR RI pada Selasa (23/7). Rapat tersebut menghasilkan keputusan, Komisi III masih akan mendengar pandangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Pandangan dari Kemenkumham selaku pihak pemerintah itu dijadwalkan disampaikan pada Rabu (22/7). Setelah itu, fraksi-fraksi di Komisi III baru mengambil putusan terkait rekomendasi untuk amnesti bagi Baiq Nuril.
"Besok pukul 15.30 kita akan mendengar pandangan pemerintah diwakili Kemenkumham setelah itu dilakukan pengambilan keputusan dari fraksi yang ada di Komisi III," kata Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin dalam rapat pleno Komisi, Selasa.
Rapat pleno yang dimulai pukul 13.00 WIB tersebut awalnya dilakukan secara tertutup. Namun, rapat tersebut kemudian dilakukan secara terbuka. Baiq Nuril yang hadir ke DPR RI juga dipersilakan mengikuti rapat tersebut didampingi kuasa hukumnya.
Aziz selaku pimpinan rapat menegaskan, dalam rapat pleno ini tidak diperkenankan membahas maupun memperdebatkan proses hukum yang telah menimpa Nuril. Pasalnya, putusan hukum yang menimpa Nuril telah sampai pada PK yang tidak dapat diubah lagi, kecuali dengan amnesti.
Rapat pleno tersebut akhirnya berakhir dengan keputusan menunggu pandangan langsung dari Kemenkumham. Pandangan langsung itu dinilai perlu oleh Komisi III, meskipun, dalam surat rekomendasi yang dikirimkan Presiden RI Joko Widodo ke DPR RI sudah memuat keterangan Kemenkumham sebelumnya.
"Selanjutnya akan diambil keputusan di dalam forum rapat kerja komisi III pada esok guna mendengar pandangan fraksi-frakai apakah diberikan persetujuan atau tidak memberikan," kata Politikus Golkar itu.
Rapat Pleno Komisi III DPR RI terkait pemberian amnesti untuk Baiq Nuril, Selasa (23/7).
Baiq Nuril yang hadir di tengah rapat dipersilakan untuk menyampaikan pendapatnya. Nuril menyampaikan rasa ketidakadilan yang dialaminya sebagai korban pelecehan seksual secara verbal, namun justru lantas dijerat dengan kasus UU ITE.
Nuril pun menyampaikan harapannya agar amnesti yang akan diberikan Presiden Jokowi disetujui oleh Komisi III DPR RI. "Saya tidak tahu harus kemana lagi. karena saya tahu DPR itu wakil rakyat tangan rakyat yang bisa menolong rakyatnya, Saya cuma rakyat kecil," kata Nuril sambil sesekali meneteskan air mata.
Fraksi-fraksi pun menyampaikan pandangan awalnya dalam pleno tersebut. Anggota Komisi III Fraksi PDIP Junimart Girsang menekankan, pemberian amnesti oleh Presiden adalah suatu bentuk usaha di luar upaya hukum lain. "Pertimbangan kita hari ini adalah keputusan politik yang meniadakan suatu keputusan hukum," kata dia.
Karena itu, lanjut Junimart, pemberian amnesti pada Baiq Nuril diharapkan tidak menimbukan preseden bahwa hukum di Indonesia dapat diintervensi dan tidak dijunjung tinggi.
Anggota Komisi III Fraksi Demokrat Mulyadi mengatakan, yang diharapkan dalam proses pembahasan Amnesti Nuril adalah rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut disadari tidak selalu linier dengan lembaga peradilan.
"Oleh karena itu, amnesti ini adalah hak khusus presiden. InsyaAllah kami sebagai wakil rakyat akan memperhatikan dan mendalami sehingga saat mengambil kepuutusan, betul-betul keputisan itu yang berdasarkan faktual dan akurat," kata Mulyadi.
Kuasa Hukum Baiq Nuril Yan M Putra yang juga turut dalam rapat pleno sempat berupaya menjelasakan proses hukum yang menimpa Nuril. Namun, penjelasan Yan ditolak pimpinan rapat lantaran fokus rapat adalah membahas keputusan politik DPR RI terkait perkembangan pemberian amnesti.
Yan pun tetap berharap DPR dan Presiden dapat mengabulkan amnesti Baiq Nuril. "Kami berharap DPR dari presiden terkait dengan permohonan amnesti Bu Nuril ini bisa dikabulkan, menjadi pertimbangannya juga bahwa ada anak yg sangat mengharapkan ibunya bisa bebas, ibunya tidak dipersalahkan ibunya tidak mendapatkan pemidanaan," kata dia.
Rapat pleno pada Selasa ini digelar setelah sepekan sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo mengirim surat ke DPR RI untuk memberikan amnesti bagi Baiq Nuril. Amnesti itu muncul setelah MA menolak PK Baiq Nuril terkait UU ITE karena merekam pelecahan terhadap dirinya.
Baiq dijerat dengan UU ITE dengan putusan tetap dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta. MA menyatakan Baiq Nuril bersalah karena melakukan perekaman ilegal dan menyebarkannya.