Senin 22 Jul 2019 06:17 WIB

Make America White Again?

The Squad mengkritik kebijakan Presiden Trump mengenai konflik Israel-Palestina.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tampaknya jengkel betul dengan empat imigran perempuan ini: Alexandra Ocasio-Cortez, Rashida Tlaib, Ayanna Pressley, dan Ilhan Omar. Tiga nama pertama lahir dan besar di AS.

Ocasio-Cortez keturunan Puerto Riko, Tlaib keturunan Palestina, dan Pressley keturunan Afrika. Hanya Ilhan Omar yang lahir di Somalia. Ia pindah ke AS ketika masih kecil mengikuti keluarganya untuk menghindari konflik sipil di negara asalnya.

Yang menjadi soal, empat orang imigran perempuan itu bukan warga negara AS biasa. Sejak 2016, panggilan mereka adalah ‘yang mulia’. Mereka terpilih menjadi anggota DPR atau Kongres AS dari Partai Demokrat. Ocasio-Cortez mewakili daerah pemilihan New York, Tlaib mewakili Michigan, Pressley mewakili Massachusetts, dan Omar mewakili dapil Minnesota.

Sebagai anggota DPR tentu tugas mereka ya berbicara, menyuarakan pandangan mereka sesuai janji-janji kampanye. Tak jarang mereka mengkritik keras berbagai kebijakan Presiden Trump. Apalagi, keempatnya merupakan anggota DPR dari Demokrat yang merupakan oposisi sang presiden. Karena seringnya mengkritik kebijakan Trump, empat sekawan ini pun dikenal sebagai the Squad.

Di antara kritikan yang dilempar the Squad adalah kebijakan Presiden Trump mengenai konflik Israel-Palestina. Mereka menilai kebijakan Trump terlalu berat sebelah untuk kepentingan Zionis Israel. Penilaian ini merujuk pada keputusan Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan kemudian diikuti dengan pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke kota tua itu.

Selain itu, dukungan Trump terhadap pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki Israel. Kemudian, pengakuan Trump terhadap Dataran Tinggi Golan milik Suriah sebagai bagian dari Israel. Berbagai kebijakan Trump ini mereka nilai justru akan menghambat terciptanya perdamaian di Timur Tengah, terutama antara Israel dan Palestina.

Kebijakan Trump lain yang pernah dikritik keras terkait Islam dan umat Islam. Misalnya tentang larangan warga Muslim dari sejumlah negara untuk masuk ke AS. Kebijakan ini pun menuai berbagai kritik dari dalam dan luar negeri.

Bukan hanya di dalam negeri. Trump pun kerap mengkritik tokoh lain dan dari negara lain. Sadiq Khan, misalnya. Wali Kota London pertama dari warga Muslim itu pernah kena semprot dari orang nomor satu di Gedung Putih tersebut. Kata Trump, Khan harus segera diganti. London butuh seorang wali kota baru sesegera mungkin. Khan adalah sebuah bencana--hanya akan menjadi lebih buruk!

Serangan itu dilancarkan Trump pada pertengahan Juni lalu. Waktu itu tindak kriminal sedang marak di London. Tiga pria terbunuh dalam kurun waktu 24 jam. Sebelumnya, Trump juga pernah menyebut Khan sebagai pecundang sejati.

Trump mungkin ingin mengatakan bahwa Khan tidak akan mampu menjadi Wali Kota London, ketidakmampuan yang dihubungkan dengan latar belakang Khan yang hanya anak seorang imigran dari Pakistan. Si imigran ini kemudian menjadi sopir bus di London.

Kebencian Trump kepada kaum imigran juga tampak ketika the Squad mengkritisi kondisi di pusat tahanan migran di perbatasan dengan Meksiko yang telah mereka kunjungi. Mereka menyebut para migran ditahan dalam kondisi tak berperikemanusiaan. Kesaksian itu sejalan dengan berbagai kritik yang kerap dilancarkan kubu Demokrat terhadap cara pemerintahan Trump dalam menangani migran di perbatasan.

Kontan saja kritikan empat perempuan imigran itu membuat Trump berang. Dalam beberapa cuitan, ia menuduh mereka sebagai kejam karena telah mengkritik dirinya dan Amerika Serikat. "Sangat menarik melihat anggota kongres perempuan Demokrat yang progresif, yang berasal dari negara-negara yang pemerintahannya adalah benar-benar malapetaka, yang terburuk, paling korup, dan tidak kompeten di dunia--kalaupun mereka memiliki pemerintahan yang benar-benar berfungsi. Sekarang dengan lantang dan kejam (mereka) memberi tahu orang-orang Amerika Serikat, bangsa terbesar dan paling kuat di dunia, bagaimana pemerintahan kita harus dijalankan," katanya.

"Mengapa mereka tidak kembali dan membantu memperbaiki tempat-tempat yang benar-benar rusak dan penuh dengan kejahatan dari mana mereka datang, lalu kembali dan tunjukkan kepada kami bagaimana hal itu dilakukan? Tempat-tempat ini sangat membutuhkan bantuanmu. Kamu tidak bisa pergi dengan cukup cepat. Aku yakin Nancy Pelosi akan sangat senang untuk segera mengatur perjalanan gratis!" katanya menambahkan

Trump memang tidak menyebut nama. Namun, dengan mengaitkan ke Pelosi, masyarakat pun segera tahu yang dimaksud adalah empat perempuan imigran yang kini menjadi anggota DPR dari Partai Demokrat--Ocasio-Cortez, Tlaib, Pressley, dan Omar. Pelosi merupakan ketua DPR dari Demokrat yang menaungi empat perempuan anggota legislatif itu.

Dalam cuitan lain, Trump menyebut Ilhan Omar telah meninggalkan Somalia, sebuah negara gagal. Ia juga mengatakan bahwa Omar yang beragama Islam membenci Israel dan membenci Yahudi. "Jika Anda tidak senang, jika Anda mengeluh terus, Anda bisa pergi," ujar Trump kepada Omar dalam sebuah jumpa pers.

Berbagai komentar Trump itu langsung memunculkan kontroversi. Ada yang mendukung dan ada yang menolak. Namun, yang mengkritik lebih banyak lagi. Trump dinilai telah menebarkan rasisme dan xenofobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain atau yang dianggap asing, yang didasarkan pada sesuatu yang tidak masuk akal/irasional).

Bahkan, DPR AS beberapa hari lalu merasa perlu menggelar sidang untuk memberi pernyataan keras kepada Trump terkait komentar negatifnya pada empat perempuan anggota kongres. Hasilnya, 240 anggota DPR menyatakan setuju, sedangkan 187 lainnya menolak.

Di antara yang setuju terdapat empat anggota DPR dari Partai Republik dan seorang anggota independen. Pernyataan Trump dianggap telah melegitimasi ketakuan dan kebencian terhadap warga baru Amerika dan orang-orang kulit berwarna.

Presiden Trump juga dituding atas rasisme dan nasionalisme kulit putih. Ketua DPR Nancy Pelosi pun menyindir yang dimaksud dari slogan kampanye Trump ‘make america great again’ adalah ‘make America white again". Pelosi menegaskan, keragaman justru menjadi kekuatan Amerika.

Menurut pernyataan DPR, semua warga Amerika--kecuali keturunan warga asli dan orang-orang Afrika-Amerika yang diperbudak--merupakan imigran atau keturunan imigran. Menurut pernyataan tersebut, patriotisme tidak didefinisikan oleh ras atau etnis, tetapi oleh pengabdian pada nilai-nilai dalam konstitusi, yakni kesetaraan, kebebasan, inklusivitas, dan demokrasi. "Komentar-komentar dari Gedung Putih sangat memalukan, menjijikkan, dan komentar-komentar ini rasis," ujar Ketua DPR Nancy Pelosi.

Jadi, makin jelas bahwa ketidaksukaan Trump kepada Alexandra Ocasio-Cortez, Rashida Tlaib, Ayanna Pressley, dan Ilhan Omar bukan karena mereka merupakan imigran atau keturunan imigran. Ketidaksukaan itu lebih karena mereka bukan kulit putih melainkan kulit berwarna. Apalagi, dua di antara mereka beragama Islam--Omar dan Tlaib. Trump sendiri merupakan keturunan imigran Jerman-Skotlandia. Bahkan, istrinya, Melania Trump, lahir di Slovenia dan menjadi pemukim permanen AS pada tahun 2001 dan warga negara tahun 2006.

‘Make America white again’ tentu tidak hanya terkait dengan Amerika tetapi juga akan membawa pengaruh negatif kepada dunia. Pasalnya, Trump adalah presiden sebuah negara superpower, adikuasa. Ia "batuk kecil" saja pengaruhnya bisa mendunia. Bagaimana kalau si presiden kulit putih ini "batuk besar" apalagi sampai murka?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement