REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut sedikitnya 25 titik panas (hotspot) terdeteksi di Kalimantan Tengah (Kalteng) mulai awal Juli 2019 hingga 8 Juli 2019.
"Sejak 1 Juli 2019 sampai 8 Juli 2019 ada 25 titik panas di Kalteng. Beberapa titik panas tersebar di lahan konsesi perusahaan dan lokasi yang sebelumnya terbakar saat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015 lalu," ujar Direktur Walhi Kalteng Dimas Hartono saat ditemui Republika.co.id, di kantor Walhi Pusat, di Jakarta, Ahad (21/7).
Ia menambahkan, titik panas tersebar di kabupaten yang memiliki lahan gambut misalnya Pulang Pisau. Meski belum begitu mengganggu jarak pandang dan tak separah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015 lalu, ia mengakui kemunculan 25 titik panas itu menimbulkan aroma asap yang mengganggu pernapasan dan membuat mata perih.
Kalau titik panas ini dibiarkan, ia khawatir jumlahnya terus meningkat. Ia mengakui, pemerintah setempat sudah melakukan upaya pemadaman hotspot.
"Tetapi upaya pemadaman kan tidak bisa selesai hanya dalam satu atau dua hari," katanya.
Ia menegaskan, upaya pemadaman saja tidak akan efektif mencegah karhutla. Berulangnya fenomena ini membuat dia menyoroti upaya pemerintah dalam melakukan penegakan hukum.
"Karena itu untuk penanggulangan karhutla perlu ada peta jalan yang menjabarkan peran pemerintah, masyarakat sipil, dan perusahaan kemudian mereka duduk bersama membicarakan penanganan dan pencegahan karhutla. Intinya ada perencanaan, penanganan, evaluasinya," katanya.