Senin 22 Jul 2019 05:03 WIB

Islamofobia, Utrecht Affair, Larangan Ajar Agama di Sekolah

Soal larang ajarkan agama di sekolah ingatkan suasana sebelum G30S/PKI.

Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.

Setiap hari ada saja yang membeli buku dan koran-koran lama sehingga setiap hari ada uang masuk. Namun, beberapa pekan kemudian Amir Hamzah mulai kebingungan, karena persediaan buku dan koran menipis sedang uang hasil menjual buku habis untuk makan dan keperluan rumah tangga.

Di tengah kebingungan, sekitar satu bulan sesudah toko dibuka, suatu hari datang mobil penuh bermacam-macam judul dan jenis buku. Tamu yang tidak diundang itu mengaku pemilik toko buku 'Kurnia", toko buku besar di Surabaya. Pemilik TB "Kurnia" bercerita kepada Wirjosukarto bahwa dia hendak menyampaikan "amanat bapak" untuk membantu Amir Hamzah berjualan buku. Semua buku satu mobil penuh itu boleh dijual oleh Amir Hamzah, dan boleh dibayar belakangan.

Antara senang, bingung, dan terkejut, Wirjosukarto bertanya: "Siapa bapak yang amanatnya mau Saudara sampaikan itu?" Pemilik TB "Kurnia" menjawab singkat: "Pak Natsir."

Amir Hamzah tersadar, beberapa kali mengunjungi M. Natsir di Rumah Tahanan di Batu, Malang, dia sempat bercerita tentang usahanya membuka toko buku. Rupanya karena cerita itu, Natsir meminta pemilik TB "Kurnia" yang juga kader Masyumi untuk membantu usaha yang sedang dirintis oleh Amir Hamzah.

Permintaan itupun ditunaikan dengan suka cita. Belakangan Amir Hamzah mengetahui kiriman beras yang rutin dia terima dari Ustadz Abdul Qadir Hassan Bangil, juga lantaran amanat Pak Natsir. Demikianlah Natsir. Dari dalam rumah tahanan, dia tidak pernah berhenti memikirkan nasib kader dan umat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement