Kamis 18 Jul 2019 07:20 WIB

Saudi-Turki Dukung Cina, Bagaimana Sikap RI Soal Uighur?

Seharusnya Indonesia tidak boleh berdiam diri terhadap persoalan Muslim Uighur.

Pagar penjagaan di kamp penahanan, yang secara resmi disebut pusat pendidikan keterampilan di Xinjiang untuk Muslim Uighur.
Foto: Reuters/Thomas Peter
Pagar penjagaan di kamp penahanan, yang secara resmi disebut pusat pendidikan keterampilan di Xinjiang untuk Muslim Uighur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah negara, seperti Arab Saudi, Pakistan, Uni Emirat Arab, dan negara mayoritas Muslim lainnya belum lama ini menulis surat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendukung kebijakan Republik Rakyat Cina (RRC) di Xinjiang. Menanggapi hal itu, sejumlah ormas Islam meminta Pemerintah Indonesia berhati-hati dan tak gegabah mengambil sikap serupa.

Ketua Kantor Kerja Sama Internasional dan Hubungan Luar Negeri Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH Muhyiddin Junaidi, menyampaikan, negara dan pihak yang masih meragukan bahwa konstitusi Cina sangat tertutup hendaknya mencari informasi yang betul-betul komprehensif. Sebab, di Xinjiang sudah terjadi semacam pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama pelanggaran HAM dalam bidang kebebasan mengamalkan nilai-nilai agama Islam di Cina.

Kepada Pemerintah Indonesia, KH Muhyiddin mengatakan, seharusnya Indonesia tidak boleh berdiam diri terhadap persoalan di Xinjiang. Indonesia wajib untuk menyatakan sikap secara terbuka kepada Cina.

Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI itu menceritakan, pada Februari 2019 MUI dan ormas-ormas Islam diundang ke Xinjiang, kemudian berkunjung ke lokasi yang dianggap sebagai kamp konsentrasi untuk Muslim Uighur. Sekembalinya dari Cina, MUI dan ormas-ormas Islam membuat pernyataan.

"MUI bersama ormas-ormas Islam meminta kepada Pemerintah Cina agar mengizinkan umat Islam di Xinjiang dan tempat lain untuk mengamalkan ibadah di tempat umum," ujar Muhyiddin kepada Republika, kemarin.

Terkait Arab Saudi yang mendukung kebijakan Cina di Xinjiang, dia menyampaikan kedua negara tersebut ada kesepakatan dalam konteks memerangi radikalisme. Namun, dia menegaskan, jangan disamaratakan seakan-akan yang radikal adalah umat Islam. "(Artinya) orang yang shalat, orang yang baca Alquran, orang yang puasa di hari kerja (jangan) dianggap radikal," ujar dia.

Sebelumnya diberitakan juga bahwa Arab Saudi, Rusia, dan 35 negara lainnya telah menulis surat kepada Dewan HAM PBB yang menyatakan mendukung kebijakan RRC di Provinsi Xinjiang. Selain Arab Saudi dan Rusia, surat yang berhasil dilihat Reuters itu turut ditandatangani duta besar dari Korea Utara, Venezuela, Kuba, Belarus, Myanmar, Filipina, Suriah, Pakistan, Oman, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan sejumlah negara Afrika.

Dalam surat itu dikatakan keamanan telah kembali ke Xinjiang. Hak asasi orang-orang dari semua kelompok etnis di sana pun telah dilindungi. Mereka mengapresiasi RRC dalam menangani isu terorisme di Xinjiang. "Menghadapi tantangan besar terorisme dan ekstremisme, RRC telah melakukan serangkaian tindakan antiterorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk mendirikan pusat-pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan," kata surat itu.

Surat itu berkebalikan dengan yang dikirimkan 22 negara-negara lainnya, kebanyakan dari Eropa, sepekan sebelumnya. Negara-negara itu mendesak RRC mengakhiri penahanan terhadap Muslim Uighur di kamp-kamp reedukasi dan menjamin hak beribadah umat Islam di wilayah itu.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga meminta pemerintah berhati-hati bersikap terkait Xinjiang. “Menurut saya ini Pemerintah Indonesia harus berhati-hati mengambil sikap. Tapi, solidaritas Muslim tetap kita tampakkan. PBNU sudah menyampaikan itu,” ujar Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal saat ditemui Republika di kantor PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (16.7).

Dia mengatakan, kedaulatan masing-masing negara harus tetap dijaga sehingga tidak mengganggu hubungan bilateral antara Indonesia dan RRC. Di sisi lain, menurut dia, Pemerintah Indonesia tetap harus melihat apakah ada unsur pelanggaran HAM atau tidak di Xinjiang.

Menurut Helmy, tindakan pelanggaran HAM etnis Uighur di RRC mungkin benar adanya. Namun, Pemerintah Indonesia tetap harus melihat kasus Uighur di RRC secara luas. “Jadi, harus hati-hati, sama halnya dengan negara lain yang akan merespons soal gerakan di Papua dan di Aceh, itu harus berhati-hati,” katanya menjelaskan.

Helmy mengatakan, PBNU mengambil sikap moderat dalam merespons masalah yang dihadapi Muslim Uighur. Karena, menurut dia, ada otoritas suatu negara yang harus dihormati, tapi di sisi lain Pemerintah RRC juga harus melakukan pendekatan yang lebih humanis kepada suku Uighur, seperti memperbanyak dialog.

Sementara itu, Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) menyesalkan dukungan negara-negara Islam terhadap RRC. "Kami DDII menyesalkan beberapa negeri Islam menyatakan setuju atau mendukung kebijakan Pemerintah RRC di Uighur sebelum mereka mengadakan investigasi yang independen, tidak dibimbing Pemerintah RRC (saat kunjungan)," kata Ketua Umum DDII, KH Mohammad Siddik, kepada Republika, Rabu (17/7).

Berdasarkan informasi independen yang diterima DDII, Muslim Uighur mendapat tekanan dan tidak dibiarkan bebas melaksanakan ibadah. KH Siddik mengatakan, orang-orang Uighur sukar menjalankan sejumlah ibadah, seperti berhaji, puasa, dan belajar agama. Para pria Uighur juga tidak boleh berjanggut dan mengenakan pakaian yang identik dengan Islam.

Dia meminta Pemerintah Indonesia untuk meminta kepada RRC agar memperlakukan Muslim Uighur dengan baik. "Dengan (berlaku baik kepada Muslim Uighur) begitu, insya Allah hubungan RRC dengan negeri-negeri Islam dan umat Islam menjadi lebih baik," ujarnya. KH Siddik menegaskan, apabila perlakuan RRC terhadap etnis Uighur tetap dibiarkan, ia khawatir suatu saat justru akan memancing kemarahan umat Islam.

photo
Muslim Uighur di depan aparat Cina

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan Indonesia telah menempuh pendekatan bilateral dengan Pemerintah Cina terkait isu Xinjiang. Pernyataannya berkaitan dengan adanya dukungan sejumlah negara, termasuk negara Arab, terhadap kebijakan Beijing di provinsi tersebut.

“Sepengetahuan saya, Indonesia telah mengedepankan pendekatan yang bersifat bilateral dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) atas masalah ini,” kata Teuku saat dihubungi Republika pada Selasa (16/7).

Kendati demikian, dia tak dapat mengungkap perihal detail pendekatan yang dilakukan Indonesia. Teuku pun mengaku belum mengetahui bagaimana respons Cina atas langkah tersebut. “Persisnya saya tidak tahu karena penyampaiannya oleh pejabat yang menangani hubungan Indonesia dengan RRT,” ujarnya. n fuji e permana/muhyiddin/kamran dikarma, ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement