REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah pusat dapat mencarikan pulau kosong bagi Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Pulau kosong ini nantinya akan menjadi kantor baru UNHCR untuk memproses administrasi para calon pengungsi.
"Proses men-screen dan memverifikasi apakah calon pengungsi bisa diterima sebagai pengungsi ini memakan waktu yang lama, bisa bulanan hingga tahunan," ujar Hikmahanto Juwana di Jakarta, Selasa (16/7).
Apalagi saat ini negara ketiga yang menerima pengungsi untuk mencari suaka seperti Australia, negara-negara Eropa, serta Amerika Serikat sudah sangat membatasi jumlah pencari suaka. Meskipun kebijakan pembatasan penerimaan pencari suaka merupakan hak negara-negara tersebut, namun telah mengakibatkan penumpukan jumlah pengungsi yang membebani pemerintah Indonesia.
Sementara Indonesia sendiri bukan merupakan negara penandatangan Konvensi Wina 1951 tentang Pengungsi sehingga tidak berkewajiban mengurusi mereka, selain atas nama kemanusiaan.
Berdasarkan data Kementerian Sosial RI, saat ini terdapat sekitar 1.100 pengungsi yang ditampung di Kodim Kalideres, Jakarta Barat, dengan biaya logistik dari pemerintah Indonesia. Karena itu, Hikmahanto mengatakan pulau kosong tujuan relokasi untuk pendataan pengungsi tersebut harus dibiayai oleh UNHCR dan masyarakat Internasional.
Di samping itu, Kementerian Luar Negeri RI juga dapat membuat surat tertulis kepada UNHCR terkait permintaan pemindahan kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi ke luar Jakarta. "Para pengungsi datang ke Indonesia karena ingin ke kantor UNHCR yang berada di Ibu KotaJakarta," kata Hikmahanto.
Dengan pemindahan kantor UNHCR ke luar Jakarta, Hikmahantomenambahkan, gelombang pengungsi yang masuk Indonesia dapat langsung diarahkan ke kantor UNHCRdi suatu pulau sehingga tidak terjadi penumpukan di Jakarta.