Selasa 16 Jul 2019 11:13 WIB

Perang dan Imigran: Ali & Cita-Cita Hidup di Negara Ketiga

Para imigran keluar dari negaranya karena berbagai alasan, salah satunya peperangan.

Rep: Mabruroh/ Red: Karta Raharja Ucu
Muhammad Ali (kaos Hitam), WNA asal Afganistan yg menolak pulang karena negaranya masih perang, Selasa (16/7/2019).
Foto: Republika/Mabrurah
Muhammad Ali (kaos Hitam), WNA asal Afganistan yg menolak pulang karena negaranya masih perang, Selasa (16/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Perang yang tak berkesudahan memaksa banyak rakyat Afghanistan keluar dari Tanah Airnya dan memilih mencari tempat baru untuk bernaung. Indonesia menjadi salah satu negara transit sebelum para pengungsi dari Afghanistan untuk mencari negara yang bisa memberikan suaka.

Adalah Muhammad Ali, imigran yang datang ke Indonesia untuk mencari peruntungan. Ketika keluar dari negaranya, ia bercita-cita hidup di negara ketika dengan damai.

Baca Juga

Pria berusia 24 tahun itu memilih Indonesia sebagai tempat transit sebelum mendapatkan negara yang mau memberikan perlindungan. Namun setelah hampir tujuh tahun tinggal sebatang kara di Indonesia, ia tidak kunjung mendapatkan negara ketiga.

Ali lupa kapan persisnya tiba di Indonesia. Ia hanya mengingat, bahwa usianya saat itu, saat terpisah dengan orangtuanya masih berusia 18 tahun karena perang di negara. “Saat itu saya masih berusia 18 tahun,” kata Ali saat berbincang dengan Republika.co.id di Gedung Eks Kodim, Jalan Bedugul, Kalideres, Jakarta Barat, Jumat (12/7).

photo
Suasana pengungsi para pencari suaka digedung eks kodim, Jakarta Barat, Jumat (12/7).

Ia berasal dari Kabul, kota yang menjadi salah satu daerah konflik dan seringkali mendapatkan banyak serangan. Ali sendiri mengaku tidak paham lagi dengan negaranya yang seolah lebih mengedepankan ego mereka dalam berpolitik daripada keamanan dan menyamanan warganya untuk dapat tinggal dan menetap .

“Daerah Kabul itu daerah konflik. Konfliknya konflik politik jadi susah tahu itu gara-gara apa (penyebab awalnya),” kata Ali menerangkan.

Ali saat itu mengaku seorang diri meninggalkan Afghanistan. Ia meninggalkan Afghanistan menuju Pakistan dengan menggunakan transportasi bus. Dan pilihannya jatuh ke Indonesia, karena ia mengaku ingin mengunjungi kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Kita tuh waktu di Afghanistan sudah tidak aman, kita ke Pakistan dulu lalu kita ke Indonesia karena kita tahu di Indonesia ada kantor PBB. Saat itu masih 2013,” cerita Ali.

Selama di Indonesia, Ali mengaku selalu berpindah-pindah tempat tinggal. Dari Bogor, Depok, dan kemudian kini bersama warga pengungsi lainnya, di Kalideres Jakarta Barat.

Ali berharap dengan mengunjungi Jakarta dapat bertemu dengan perwakilan dari UNHCR sehingga dapat menanyakan nasibnya bersama para pencari suaka lainnya. Karena sudah sejak 2013, Ali ingin segera memiliki tempat tinggal baru. Ali mengaku enggan untuk kembali ke negaranya, Ali berharap UNHCR bisa memfasilitasinya untuk bisa tinggal dan hidup sebagai mana warga negara lainnya dan memiliki kartu tanda penduduk di negara ketiga.

“Di negara ketiga nanti, jadi kita bisa kerja, bisa WN negara ketiga," ujar dia.

photo
Suasana pengungsi para pencari suaka di gedung eks kodim, Jakarta Barat, Jumat (12/7).

Negara ketiga yang dimaksud adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan New Zealand. Sayangnya, setelah hampir tujuh tahun menanti, tidak ada negara yang mau mengadopsi imigran seperti dirinya. Cita-citanya untuk bisa tinggal di negara baru pun nampaknya harus kembali ia kubur dalam-dalam.

“Belum ada kabar, itu kita sudah enam tahun tinggal seperti ini, belum ada kabar, jadi hidupnya enggak jelas, enggak tahu sampai kapan seperti ini,” kata Ali.

UNHCR kata Ali, pernah menawarkan untuk kembali saja ke negara asal daripada terkantung-kantung di negeri transit. Saran itu langsung saja ditolaknya. Keputusan Ali nampaknya sudah bulat ingin hidup di negara baru tanpa pertumpahan darah.

“(Kata UNHCR sebelumnya) Alasan negara ketiga belum mau nerima jadi kalian harus tunggal di sini (Indonesia). Enggak tahu sampai berapa lama, tapi kalau kalian mau balik lagi silakan balik lagi (ke negara asal). Ya enggak ada yang mau, kan masih perang,” tutur Ali.

Pengalaman pahit juga disampaikan Kulsum. Ibu tiga anak ini mengaku ingin segera mengakhiri perjalanan panjangnya dan bisa menetap di suatu negara dan membuat anak-anaknya bisa hidup layak dan mendapatkan pendidikan.

Karena sebagai pengungsi, Kulsum tidak memiliki hak untuk bekerja maupun mendapatkan fasilitas lain di negara transit. Kehidupannya pun, hanya tergantung dari belas kasihan para pemberi sumbangan. Termasuk ketika anak sakit, tidak ada rumah sakit yang bisa dia datangi. Satu-satunya yang bisa dikunjungi saat anak-anaknya jatuh sakit adalah puskesmas.

“Anak sakit dibawa ke puskesmas, no rumah sakit, mahal,” ucap dia.

Di Puskemas tersebut, ia tinggal menunjukan kartu yang didapat dari UNHCR sehingga bisa mendapatkan pelayanan gratis. Sayangnya perbincangan terhenti karena ia beralasan harus segera memandikan anak-anaknya.

UNHCR hingga kini masih belum bisa dimintai keterangan. Setelah dijanjikan hari Senin, namun tetap belum ada kepastian. Bahkan setelah Republika mencoba mengirimkan daftar pertanyaan, namun tetap saja belum mendapatkan jawaban.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement