Senin 15 Jul 2019 17:14 WIB

40 Persen Cagar Budaya di Kota Bogor Rusak

Kerusakan cagar budaya di Kota Bogor terjadi karena banyak sebab

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Christiyaningsih
Stasiun Bogor pada tahun 1920-an.
Foto: Wikipedia
Stasiun Bogor pada tahun 1920-an.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Konsil Kota Pusaka Bogor mencatat dari total 663 Cagar budaya di Kota Bogor ada sekitar 40 persen yang mengalami kerusakan atau hancur. Pemerhati budaya dari Konsil Kota Pusaka, Rachmat Iskandar, mengatakan data yang dibuat oleh konsil itu dilakukan berdasarkan penghitungan sejak 2007 hingga 2016.

“Jika dihitung hingga saat ini, bisa saja data kerusakan cagar budayanya semakin bertambah,” ujar dia ketika dikonfirmasi Republika, Ahad (14/7).

Baca Juga

Dia menyatakan kerusakan tersebut terjadi karena banyak sebab. Salah satunya adalah kurang pedulinya Pemkot Bogor terhadap cagar budaya yang dimiliki. Menurut dia, berdasarkan peninjauan di lapangan mayoritas bangunan yang tidak dirawat merupakan bangunan rumah tempat tinggal dan gedung pemerintahan.

“Kondisi cagar di Kota Bogor saat ini cukup memprihatinkan, baik itu bangunan yang sudah hilang atau berubah. Padahal cagar seharusnya tidak berubah,” kata dia.

Rachmat mengatakan dari total 663 cagar budaya tersebut, sebanyak 24 cagar di antaranya telah mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa tahun sebelumnya. Menurut dia, tiga di antara 24 cagar tersebut sudah hilang. Sebab, mengalami perubahan yang sangat signifikan dari bentuk awalnya.

Dia menuturkan perubahan boleh dilakukan selama tidak merubah estetik dan keseluruhan bangunannya. Sejak pendataan pertama hingga dilakukan kembali pada tahun lalu, sudah sekitar 40 persen bangunan yang mulai rusak dan sebagian hilang. Sebanyak 663 cagar tersebut mencakup bangunan pemerintahan, penelitian, pendidikan, wisma, rumah tinggal, bangunan air, keagamaan dan lainnya.

“Gardu listrik juga termasuk cagar. Tidak boleh diubah kecuali interior dan selama tidak mengubah struktur bangunan itu masih bisa seperti di museum tanah. Di belakangnya memang ditambah bangunan baru, tetapi di depan masih sama dan itu aturannya,” kata dia.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bogor, Shahlan Rasyidi, mengatakan jika dihitung sejak awal, cagar di Kota Bogor memang jumlahnya ada ribuan. Tetapi, berdasarkan pendataan pada 2015 hanya ada sekitar 487 cagar di Kota Bogor.

“40 persen itu dari data yang lama mungkin. Kalau yang terbaru tidak sampai 10 persen rusaknya. Pengurangan cagar dikarenakan ada ketidaktahuan dari berbagai pihak mengenai cagar,” ujar dia.

Dari 487 cagar budaya yang kini terdata, yang paling banyak mengalami kerusakan adalah bangunan rumah pribadi. Menurut Shahlan, bangunan yang kini sudah hancur atau gayanya berubah secara keseluruhan tidak dihitung lagi menjadi cagar budaya. Sebab, telah hilang nilai estetikanya.

“Kebanyakan sudah berubah fungsi menjadi hotel dan sebagainya. Saat ini yang bangunan pemerintahan dan sekolah masih bisa dirawat dan dijaga,” ungkapnya.

Dia menjelaskan untuk bangunan sekolah hanya SMPN 1 dan SMAN 1 yang sudah mengalami perubahan dengan menambahkan tingkat dua pada awal bangunannya. Namun dia menegaskan bagian perpustakaan masih dipertahankan bentuknya sehingga masih menjadi cagar.

Dia menambahkan, di UU Nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya sudah diatur perubahan dan pelestarian bentuk serta arsitektur maupun sejarahnya. Meskipun suatu bangunan belum ditetapkan sebagai cagar, namun jika usia dan karakteristiknya sudah memenuhi persyaratan sebagai cagar, maka akan dipertahankan.

“Cagar budaya itu harus lebih dari 50 tahun usianya. Jika bangunan itu rusak tidak masalah untuk diperbaiki asal nilai estetikanya tidak hilang,” papar Shahlan.

Wakil Ketua DPRD Kota Bogor Heri Cahyono mengatakan cagar budaya merupakan bukti terhadap upaya dan bukti sejarah dari leluhur. Karena itu, pemerintah sebagai penanggung amanat rakyat harus bisa mempertahankan bukti tersebut agar bisa berlanjut ke generasi kemudian.

“Sudah saya tekankan, cagar budaya harus tetap dilestarikan,” ujar Heri.

Dalam perawatannya tentu akan ada konsekuensi terhadap anggaran. Namun dia mengatakan harus ada political will dari pemerintah dan DPRD untuk mengupayakan lebih jauh terkait cagar budaya yang dimiliki sebagai warisan kota.

“Kalau kita diberi PAD yang tinggi kita juga harus lebih mampu merawat situs cagar budaya, itu konsekuensi dari kemakmuran yang kita dapat,” ujar dia.

Dia menegaskan ke depan pihaknya akan mendiskusikan lagi dengan pihak terkait jika memang ada cagar yang tidak didata oleh Disbudpar.

“Karena mungkin ada perdebatan dan mispresepsi yang tidak cocok. Kita belum bisa mengomentari tidak didatanya cagar yang rusak. Yang jelas prinsipnya kita harus melakukan transfer informasi dari leluhur pada genearsi ke depan,” ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement