Ahad 14 Jul 2019 01:17 WIB

Kisah Korban TPPO yang Masih di Bawah Umur

Masalah utama kasus TPPO selama ini adalah faktor kemiskinan.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Endro Yuwanto
Perdagangan manusia (ilustrasi).
Foto: Foto : Mardiah
Perdagangan manusia (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wajah senang bercampur lesu tergambar di wajah perempuan yang baru saja tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Sabtu (13/7) malam. Ima Puriyanti (16 tahun) berhasil pulang ke Indonesia setelah sebelumnya menikah dengan laki-laki warga negara China dan berada di sana selama delapan bulan.

Ima merupakan salah satu korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Umurnya dipalsukan untuk memudahkan membuat paspor dan menikah dengan warga negara China.

Baca Juga

Kepulangannya melalui proses yang cukup panjang melalui lembaga hukum yang bekerja sama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). "Awalnya saya senang mau menikah dengan orang luar negeri karena ingin pula membantu keuangan orang tua saya," ujar Ima bercerita.

Ima hanya selesai sekolah di bangku kelas lima SD. Ia tidak melanjutkan sekolah karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkannya untuk kembali duduk ke bangku sekolah. Untuk itu, berdasarkan iming-iming 'mak comblang' agar mendapatkan uang, ia bersedia menikah dengan laki-laki asal China dan dibawa ke China.

Wajahnya tampak tambah lesu, rupanya penyakit lambung (maag) yang dideritanya kambuh. Usai menenggak obat maag, perempuan lugu itu kembali bercerita.

Ima tidak mengetahui pekerjaan suaminya. Namun yang ia tahu, suaminya warga negara China bekerja di Beijing. Di sebuah desa kecil di China, ia tinggal dengan ibu dari suaminya. "Nggak ngapa-ngapain di sana hanya duduk, nonton TV, paling mengerjakan pekerjaan rumah tangga," kata dia.

Awal keberangkatannya ke China, Ima yang berasal dari keluarga tidak mampu diberikan uang Rp 20 juta sebagai uang mahar untuk persyaratan mau dinikahi oleh calon pengantin pria dari China itu. Ia dijanjikan hidup baik di sana dan akan pulang ke Indonesia setelah tiga bulan di China. "Sekitar akhir 2018, saya ke sana. Tapi tidak ada surat nikah, hanya setelah sampai sana ada acara semacam syukuran atas pernikahan kami," kata dia.

Ima mengatakan, di China, komunikasi dengan keluarganya kerap dibatasi, sebab suaminya kerap cemburu padahal ia hanya menelepon kakak laki-lakinya dari Indonesia. "Banyak sekali peraturan-peraturan yang mengekang saya, saya tidak betah, saya ingin pulang," jelas dia.

Adapun Monika Normiati adalah perempuan yang pulang lebih dulu ke Indonesia. Dari pengakuan Monika, Ima beserta korban lain Yustina Mira (28) berhasil pulang ke Indonesia yang dibantu oleh LBH Jakarta dan SBMI.

Kepulangan Ima dan Yustina juga dibantu oleh Lembaga Bantuan Hukum Lentera Keadilan Rakyat (LBH Lentera) yang memfasilitasi penginapan sementara setelah transit di Bandara Soekarno-Hatta. LBH Lentera sebagai lembaga bantuan hukum sebelumnya dimintai pertolongan oleh Aheu (warga negara China) untuk memberikan hak jawab soal keberatannya karena disangkutpautkan sebagai agen para korban untuk TPPO.

Advokat LBH Lentera Jandi Mukianto mengatakan, masalah utama dua korban TPPO yang baru mendarat itu adalah faktor kemiskinan. Pihaknya khawatir dengan kondisi marginal di Kalimantan Barat. Orang tua di sana terpaksa menikahkan putri-putri mereka melalui agen untuk dinikahkan kepada warga negara asing dengan harapan dapat hidup lebih layak.

"Semoga kembalinya para korban ini dapat menjadi contoh bagaimana permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat," ujar Jandi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement