Kamis 11 Jul 2019 08:54 WIB

Teluk Semakin Sensitif

Iran meningkatkan pengayaan uranium yang mendapat penolakan keras internasional.

Pengamat Timur Tengah, Smith Al Hadar (kiri)
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Pengamat Timur Tengah, Smith Al Hadar (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Smith Alhadar, Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

Di tengah ancaman AS dan keberatan komunitas internasional, Iran pada 8 Juli 2019 meningkatkan pengayaan uranium menjadi lima persen dari 3,67 persen yang dibolehkan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran.

Sepekan sebelumnya, Iran meningkatkan stok uranium melebihi 300 kg yang berarti melanggar JCPOA. Iran menganggap langkah itu tak melanggar karena AS sebagai penanda tangan telah mundur dari kesepakatan itu.

Penanda tangan lain, khususnya Inggris, Prancis, dan Jerman, tak dapat memberikan faedah bagi Iran dalam mempertahankan JCPOA. JCPOA ditandatangani Iran bersama P5+1 (AS, Rusia, Cina, Inggris, dan Prancis) plus Jerman pada 2015.

Dalam perjanjian ini, disepakati Iran harus membatasi pengayaan uranium pada aras dan jumlah yang disebutkan di atas. Sebagai imbalan, Iran dibebaskan dari sanksi berupa izin mengekspor minyaknya.

IAEA hingga awal Juni menyatakan, Teheran masih patuh pada JCPOA. Namun, Presiden AS Donald Trump melihat JCPOA cacat karena tidak memasukkan program rudal balistik Iran dan campur tangannya dalam urusan dalam negeri beberapa negara Arab.

Mundurnya AS dari JCPOA pada Mei 2018, diikuti sanksi kembali pada Agustus dan November yang menyasar sektor perdagangan, migas, dan bank sentral. Washington pun mengancam akan menjatuhkan sanksi pada negara mana pun yang masih membeli minyak Iran.

Padahal, tanpa sanksi pun, perekonomian Iran sudah buruk karena korupsi, salah urus, dan bantuan dana kepada rezim Suriah.

Paling tidak, ada dua tujuan Trump mundur dari JCPOA. Pertama, menyulut revolusi di Iran untuk menumbangkan rezim Mullah. Iran terlalu dekat dengan Cina dan mendukung program Satu Sabuk Satu Jalan (OBOR) yang memberikan akses infrastruktur Cina ke Timur Tengah.

Rezim baru Iran di mana AS dapat berselingkuh dengannya diharapkan dapat merusak program OBOR. Tak heran, Beijing mendukung posisi Iran dalam krisis Teluk saat ini. Selain itu, Cina merupakan importir terbesar minyak Iran.

Kedua, kalaupun gagal memakzulkan rezim Mullah, setidaknya Teheran bersedia berunding kembali soal JCPOA dengan 12 syarat yang diajukan AS.

Di antaranya, menghentikan program rudal balistik yang dipersepsikan mengancam kepentingan AS dan sekutunya di kawasan, menarik diri dari negara Arab yang digenggamnya, dan memberi IAEA akses tanpa batas ke semua situs militernya.

Syarat ini sangat berat bagi Presiden Hassan Rouhani yang posisinya terancam kaum konservatif yang sejak awal menentang JCPOA. Apalagi, Khamenei menyalahkan Rouhani yang berprasangka baik kepada AS dalam menandatangani JCPOA.

Pada April, setelah AS menetapkan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) sebagai organisasi teroris, yang dibalas Iran dengan menetapkan seluruh militer AS di Timur Tengah sebagai kelompok teroris, pada Mei AS mengirim 1.500 pasukan ke kawasan panas itu.

AS juga mengirim kapal induk USS Abraham Lincoln, pesawat pengebom B-52, dan rudal antirudal Patriot, dengan dalih ada ancaman nyata dari Iran di kawasan.

Ini hanyalah dalih untuk memobilisasi militer AS ke Teluk guna mengintimidasi Iran dan mengawasi tanker-tanker dari Iran. Sebab, Iran sangat cerdik dalam menelikung sanksi AS dan Barat pada masa lalu.

Di tengah situasi panas ini, pada 12 Mei empat tanker milik Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Norwegia diserang di lepas pantai UEA. Persis sebulan kemudian, dua tanker milik Jepang dan Norwegia diserang dekat Selat Hormuz. Pelakunya masih misterius.

Iran menuduh Israel, Arab Saudi, dan UEA sebagai otak serangan guna menjustifikasi perang. Sementara AS, Saudi, dan UEA menuduh Iran di balik sabotase itu.

AS bisa jadi berbohong untuk mendapatkan dukungan internasional dalam upayanya menjatuhkan sanksi lebih berat pada Iran. Toh, AS pernah berbohong tentang senjata pembunuh massal Irak untuk membenarkan invasinya ke Irak pada 2003.

Sekilas, sabotase itu terlihat sebagai tindakan berlawanan dengan kepentingan Iran. Tapi bukan tidak mungkin pelakunya adalah Iran dengan pesan yang jelas kepada musuh-musuhnya: jangan bermain-main dengan Iran, Iran mampu menghancurkan kepentingan mereka.

Iran bahkan menjatuhkan drone canggih AS dengan rudal Khordad-3 buatan dalam negeri. Ini menunjukkan, Iran mampu membuat rudal yang mereduksi kapabilitas militer AS di kawasan. Inilah mengapa AS ingin menghentikan program rudal balistik Iran.

Konon, Trump membatalkan rencana balasan pada menit terakhir karena tak mau 15 ribu sipil menjadi korban. Yang sebenarnya, AS tak berani berperang dengan Iran, setidaknya sampai Pilpres AS selesai pada akhir 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement