Rabu 10 Jul 2019 14:39 WIB

Aksiologi Perlindungan Agama

Konstitusi mengakui dan sekaligus memberikan jaminan atas eksistensi agama.

Umat Islam membaca Kitab Suci Al-Quran di Masjid Raya Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/5/2019).
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Umat Islam membaca Kitab Suci Al-Quran di Masjid Raya Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/5/2019).

Konstitusi mengakui dan sekaligus memberikan jaminan atas eksistensi agama. Dapat dilihat pada Pasal 29 UUD 1945. Perlindungan terhadap ajaran agama dan kehidupan beragama merupakan refleksi bahwa Indonesia merupakan “nation state‟ yang “religious”.

Semua agama yang diakui secara sah merupakan kepentingan hukum (recht belang) yang harus dilindungi oleh Negara. Perlindungan agama diatur dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.  

Penentuan perbuatan sebagai tindak pidana terhadap agama, berhubungan dengan teori-teori yang mendasari hukum pidana untuk menentukan adanya suatu tindak pidana terhadap agama. Pertama, friedensschutz theorie yaitu teori yang memandang ketertiban atau ketenteraman umum sebagai kepentingan hukum yang dilindungi.

Kedua, gefuhlsschutz theorie yaitu teori yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi. Ketiga, religionsschutz theorie yaitu teori yang memandang agama itu an sich (pada hakekatnya) sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi atau diamankan oleh Negara.

Teori-teori tersebut didasarkan pada pemahaman bagaimana melindungi kepentingan agama melalui instrumen hukum pidana. UU Nomor 1/PNPS/1965 memiliki landasan keberlakuan yang kuat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. UU Nomor 1/PNPS/1965 ditinjau dari kaidah hukum secara fiosofis tidaklah bertentangan, bahkan selaras dan sejalan dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.

Agama dan Negara memiliki relasi yang erat dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga menyatakan kemerdekaan Indonesia adalah "atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa". Frasa tersebut adalah salah satu representasi pengakuan Negara terhadap eksistensi agama.

Indonesia sesuai dengan ideologi Pancasila tidak menganut paradigma sekularistik maupun integralistik, namun menganut paradigma simbiotik. Paradigma simbiotik memandang agama dan Negara berhubungan secara simbiotik, yakni berlakunya hubungan timbal-balik dan saling memerlukan. Karenanya, konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam paradigma simbiotik tidak saja berasal dari adanya “social contract”, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (baca: Islam).

Dengan demikian, kebijakan-kebijakan politik memberikan tempat dan peranan yang terhormat kepada agama. Suatu keharusan jika kepentingan agama merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi oleh Negara. Keberlakuan UU Nomor 1/PNPS/1965 memiliki landasan yuridis yang kokoh. Pembentukannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (stufen theory). Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Jika Pasal 28E merupakan hak setiap warga Negara, maka Pasal 29 ayat (2) merupakan kewajiban Negara untuk memberikan jaminan terhadap ketentuan Pasal 28E dimaksud. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang tetap melekat pembatasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 28J UUD 1945).

Atas dasar norma hukum konstitusi yang mengatur mengenai agama, merupakan mandat yang harus dilakukan oleh penyelenggara Negara untuk membuat norma hukum yang berisi jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh pelindungan hukum terhadap agamanya. Diakui bahwa Negara tidak boleh mencampuri urusan doktrin agama, akan tetapi Negara justru harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin kebebasan dan kerukunan beragama.

Bahkan Negara juga dapat melakukan pembatasan-pembatasan yang tidak dengan sendirinya berarti mendiskriminasi melainkan untuk menjamin hak-hak orang lain.  Pembatasan pernyataan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya di depan umum (forum externum) merupakan pembatasan hak-hak dasar seseorang didasarkan pada doktrin “due process of law", dan ini merupakan inti dari suatu negara hukum atau Negara yang berdasarkan kepada "rule of law".

Indonesia yang berdasarkan Pancasila menempatkan agama pada kedudukan yang penting, dan mempunyai peranan, serta menjadi sasaran dalam pembangunan. Indonesia yang berdasarkan Pancasila bukanlah Negara agama, bukan pula Negara sekuler. Tafsiran tersebut diikuti dengan kebijakan-kebijakan politik yang memberikan tempat dan peranan yang terhormat kepada agama.

Ditinjau dari sudut sosiologis. Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 1/PNPS/1965 menyebutkan “Kewaspadaan Nasional” atas berbagai keadaan yang memecah persatuan nasional dengan maraknya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama, terjadi hampir di seluruh Indonesia.

Kesemuanya itu, dapat membahayakan persatuan bangsa dan Negara. Perlu diketahui, bahwa Kewaspadaan Nasional merupakan salah satu pilar bagi Ketahanan Nasional (National Resilience). Tanpa adanya Kewaspadaan Nasional, maka Ketahanan Nasional dengan sendirinya akan melemah dan terancam. 

Indonesia memang bukanlah Negara agama, tetapi juga bukan Negara sekuler. Indonesia menempatkan agama pada kedudukan yang penting, dan mempunyai peranan, serta menjadi sasaran dalam pembangunan. Tafsiran tersebut diikuti dengan kebijakan-kebijakan politik yang memberikan tempat dan peranan yang terhormat kepada agama.

Menjadi suatu keharusan jika kepentingan agama merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi. Pengaturan kriminalisasi terhadap perbuatan yang menyerang kemurnian dan kemuliaan ajaran agama telah mendapatkan landasan filosofis, yuridis, sosiologis dan juga teoretis.

Keberlakuan hukum pidana dalam upaya memberikan perlindungan terhadap agama sangat terkait dengan kepentingan publik dalam rangka mewujudkan ketertiban umum. Penyalanggunan dan/atau penodaan terhadap agama dapat melahirkan konflik horizontal (das sein), sehingga dan oleh karenanya memerlukan das sollen (penegakan hukum).

Demikian masifnya penyalahgunaan dan/atau penodaam terhadap ajaran agama Islam dewasa ini, merupakan “latent conflict”, yang harus disikapi secara serius oleh aparat penegak hukum.  Perlu dicatat, apabila kepentingan agama diabaikan ketika terjadi penyimpangan dan/atau penodaan terhadap agama, maka dikhawatirkan menjadi starting point timbulnya ancaman terhadap Ketertiban Umum dan bahkan Ketahanan Nasional.

Karena itu, penegakan hukum terhadap berbagai tindakan penyimpangan dan/atau penodaan agama harus dilakukan secara imparsial dengan mengacu kepada askiologi “kepastian hukum yang adil". Semoga.

TENTANG PENULIS: Dr H Abdul Chair Ramadhan, Sh, MH. Ahli Hukum Pidana & Dosen Tetap Program Pascasarjana  Magister Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana

Baca Juga tulisan opini di Republika.co.id DI SINI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement