REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kelas I Bandung, menyebut saat ini musim kemarau yang terjadi di Indonesia berlangsung normal. Menurut Kepala BMKG, Tony Agus Wijaya, kemarau kemungkinan akan terjadi selama enam bulan dimulai Mei 2019.
Tony mengatakan, dengan kondisi tersebut, BMKG memprediksi puncak kemarau akan terjadi pada Agustus. Setelah itu, pada September hingga Oktober perlahan hujan akan turun dan kemudian deras pada November.
"Perkiraan kami, iklim normal karena tidak ada El-Nino maupun La-nina yang bisa membuat pola iklim berubah," ujar Tony di acara Jabar Punya Informasi (Japri) di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Selasa (9/7).
Meski memasuki musim kemarau, menurut Tony, terdapat beberapa daerah yang masih terdampak hujan meski intensitasnya tidak besar. Di Bandung, misalnya, pada Senin (8/7), hujan masih ada walau tidak lama.
Namun, untuk daerah pantai utara seperti Subang, Indramayu, dan Cirebon kemungkinan tidak akan ada curah hujan hingga musim kemarau berakhir. Bahkan, di Karawang dan Indramayu, terdapat tujuh kecamatan yang hingga dua bulan ini tidak pernah tersentuh guyuran air hujan.
"Walaupun ini masih normal, kami coba lakukan antisipasi kekeringan agar warga masih bisa mendapatkan suplai air," kata Tony.
Sementara itu, menurut Kepala Bidang OP Dinas Pemeliharaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, Bambang Sumanta, data yang dihimpun menunjukkan debit air di sejumlah waduk masih mencukupi. Untuk daerah pantura, waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata total debit airnya mencapai 2,4 miliar kubik, sedangkan kebutuhannya hanya mencapai 2,2 miliar kubik per hari.
"Ini mencukupi kebutuhan air untuk industri dan irigasi pertanian yang ada di sekitar utara Jawa Barat," kata Bambang.
Untuk waduk Jatigede, Bambang optimistis kebutuhan air masyarakat dengan keberadaan waduk ini bisa terpenuhi baik untuk keseharian maupun irigasi pertanian. Kondisi itu tercipta andaikan air yang digunakan memang sesuai dengan rencana tanam.
Di lain sisi, Bambang menyebut irigasi yang ada di Jawa Barat saat ini belum optimal. Sekitar 40 persen dari irigasi premier hingga tersier rusak dan itu bisa memengaruhi produksi pertanian. Ia menjelaskan, berdasarkan perhitungan Dinas SDA Jawa Barat, dibutuhkan anggaran triliunan rupiah unutk memperbaikinya.
"Lebih dari Rp 1 triliunlah, tapi masih di bawah Rp 10 triliun," katanya.